Selasa, 31 Januari 2012

OOPS ! J50K ....



Rasanya seperti menjadi pemain teater yang sudah latihan dan membuat berbagai persiapan untuk acara pentas. Begitu acara di mulai, aku begitu bersemangat dan terus melakonkan peranku. Tapi begitu acara sudah berlangsung beberapa lama, aku tidak bisa menyelesaikan peranku di panggung. Dan penyebabnya tidak lain karena kesalahanku sendiri. Sedih, malu, kecewa, keki, juga penasaran.

Mosok sih aku nggak bisa nulis novel dalam waktu sebulan? Ide cerita sudah di luar kepala. Dan berbagai persiapan berupa sinopsis, plot, karakter tokoh dan lain-lain sudah aku persiapkan. Kayaknya aku pasti bisa menyelesaikannya, deh. Begitu hatiku berusaha meyakinkan diri sekaligus bertekad bulat.

Namun hingga minggu ke dua aku masih bertahan di 15 kiloword. Aku penasaran. Setiap membuat kata, selalu salah. Setiap jadi satu atau dua kalimat bahkan hingga satu paragraf, selalu merasa nggak enak dibaca atau kurang sreg. Akhirnya kembali separagraf itu aku delete. Kesal dan geram. Sampai berhari-hari kejadiannya begitu terus. Aku mencoba rileks dengan membaca novel yang sudah aku kumpulkan menjelang J50K sebagai alat penangkis setiap kebuntuan dalam mendapatkan kata-kata. Beberapa lembar aku baca, aku mendapatkan semangat untuk menulis. Dalam waktu seminggu aku dapat 13 ribu kata. Jiehh! Senengnya.

Namun nasib baik rupanya belum berpihak kepadaku. Setelah 6 ribu sekian aku pindahkan ke blog, maksudku yang sekitar 7 ribu maksudku ingin aku edit lagi serta aku tambahkan sisipan cerita ringan. Namun entah karena aku salah pencet atau karena latopku yang soak, tiba-tiba tulisan sebanyak 7 ribu kata itu lenyap dari layar. Hilang begitu saja. Sudah di utak-atik, tak juga berhasil menemukannya.

Aku sempat syok. Dan berlarut-larut menyesali kenapa 7 ribu itu tidak aku simpan di flasdisk atau aku pindah ke blog. Seharusnya aku bisa terus menulis. Tapi aku nggak konsen sama sekali. Di samping itu banyak hal yang membuatku susah menulis. Anakku yang rewel dan nggak mau melihatku berdiam di depan laptop, aku kena flu berat, dan lain waktu mag-ku kumat, juga kegiatan sosial lain di sekitar rumah yang banyak sekali menyita waktuku selama bulan januari ini.

Seharusnya ketika kita tidak ada mood menulis, berusahalah membaca. Membaca apa saja. Saya sudah tahu itu. karena 'penyakit' menulis novel adalah merasa jenuh dan kehilangan kata-kata ketika hendak menuliskan cerita yang sudah mengalir di dalam pikiran. Aku sudah menyiapkan 4 buah nove menjelang J50K. Namun keempatnya tidak ada yang aku selesaikan membacanya sampai sekarang. Malas banget membaca. Dan begitulah. Kalau kita kurang membaca, kwalitas tulisan kita aku yakin juga akan kurang. Aku sendiri merasakannya, apalagi orang lain kalau nantinya ikut membaca tulisan kita.

Segala sesuatu ada waktunya. Aku yakin waktuku untuk memenangkan J50K akan datang suatu ketika. Lagi pula ini baru yang pertama kalinya aku ikut event ini. Aku  bersyukur bertemu dengan Kampung Fiksi. Sebuah tempat yang sudah lama ingin aku menemukannya. Dan teman-teman di dalamnya, terima kasih yang tak terhingga karena sudah menjadi penyemangat dalam menulis di event J50K.

Semoga semangat menulis akan terus datang pada waktu-waktu mendatang. Dan menyelesaikan novel "Prastiwi" yang tertahan di 25 ribu kata, insya Allah akan menjadi target utama tahun ini. Ayo, semangat menulis!

Minggu, 22 Januari 2012

14. Pertemuan terakhir (?)



Nada getar handphone merambah hingga ke seluruh permukaan mejanya yang penuh dengan tumpukan berkas pekerjaannya. Perlahan Fajar membuka sms yang masuk. "Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Maaf." Ia mengulang  membaca  kalimat itu sampai beberapa kali dan mendapati kesimpulan yang sama dari pesan itu. Prastiwi?
Darahnya berdesir lirih mengingat nama itu. Dan perasaan yang selama ini dikungkungnya kini menerobos keluar dan tak mampu dibendungnya., berhamburan liar memenuhi dadanya dan berlarian hingga ke otaknya. Apa yang akan dilakukannya? Apa ia akan menemuinya? Tapi, ia ingat mamanya. Masih terngiang dalam ruang telinganya setiap kata matanya tentang siapa Prastiwi. Dia orang yang dulu menolak dijodohkan dengannya. Apapun alasan yang dimilikinya, tetap saja penghinaan itu tidak bisa begitu saja dimaafkan. Ia menggeleng, dan tegas memutuskan tidak akan menemuinya. Demi mamanya. Demi harga dirinya.

Rabu, 18 Januari 2012

10. Fajar



Sebenarnya ini gabungan dari 3 bab yang berjudul :

10.  Fajar
11.  Marisa, cewek pilihan mama
12.  Kegusaran mama


Tiga bab ini menceritakan tentang Fajar yang menceritakan pada mamanya bahwa ia akan dipindah ke Jakarta dengan jabatan baru di kantornya, yaitu sebagai Kepala Kantor Cabang.  Mamanya tidak keberatan dengan pekerjaan barunya itu, namun dia khawatir dengan masa depannya yang hingga kini belum juga menemukan seseorang untuk dijadikan sebagai calon pendamping hidupnya.mengingat usinya yang tak muda lagi. Lalu mamanya menjodohkan Fajar dengan Marisa, sekretaris di kantor Fajar. Fajar menerima perjodohan yang diatur mamanya itu. Namun suatu ketika mamanya memergoki Fajar membawa sebuah foto seorang gadis. Betapa marahnya mamanya begitu mengetahui siapa sebenarnya gadis itu. Prastiwi. Prastiwi adalah anak dari temannya. Dia adalah gadis yang dulu pernah dijodohkan dengan Fajar tapi serta merta menolak perjodohan yang direncanakan oleh kedua orang tua dari Fajar maupun dari pihak Prastiwi.


Cuplikan :


Seorang wanita setengah baya dengan wajah yang masih menyinarkan sisa-sisa kecantikannya menyambutnya dengan hangat di ruang depan. Fajar merunduk seraya memberinya ciuman penuh sayang padanya.
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya mamanya begitu mereka duduk di ruang tengah. Seorang pembantu datang menyuguhkan secangkir teh hangat di atas meja.
"Baik-baik saja, Ma," Fajar langsung menyeruputnya dan meletakkan sisanya di atas meja lagi. “Mama jadi pergi ke yayasan hari ini?”
“Iya, sama bu Heni dan bu Wiwik. Pulang dari yayasan, mereka mengajak makan, lalu jalan-jalan ke mal. Haduuh, mereka orang-orang sudah pada tua masih saja doyan belanja kayak anak muda.”
“Memangnya belanja apa mereka?”
“Baju, sepatu dan apa lagi tadi? O, iya, kalung-kalung dan perhiasan dari batu-batu alam begitu.”
“Mama juga ikut belanja, dong,” tebaknya.
“Yach, terbawa arus. Mama ikut beli baju atasan yang lagi diskon. Bahannya sutera dan ada manik-manik di bagian dada dan ujung lengannya,”
Fajar menertawai mamanya yang akhirnya mengaku tergoda untuk membeli baju. Padahal dua lemari di kamarnya sudah tidak muat menampung pakaian-pakaiannya. Sesekali ia membawakan pembantu di rumah mereka  itu sebuntalan baju-baju untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan di kampungnya.
Setelah suaminya meninggal sekitar satu setengah tahun yang lalu, Hartati, mamanya Fajar mengisi kehidupannya dengan berkebun anggrek di belakang rumahnya. Bermacam anggrek dengan bunga yang berwarna warni menghiasi rak-rak yang berjajar di tengah taman. Selain anggrek di juga melengkapi taman luas di belakang dengan tanaman-tanaman bunga lainnya. Ketika sore hari, sambil menikmati teh dan makanan kecil di teras belakang dia selalu menyempatkan dirinya menikmati keindahan bunga-bunganya.
Selain bertanam bunga, tidak ada kegiatan lain yang dilakukannya selain bersama teman-teman dekatnya seperti bu wiwik dan bu Heni. Keduanya aktif dalam kegiatan sosialita berupa mengumpulkan dana-dana dari sebuah kegiatan kemudian menyumbangkannya pada sebuah yayasan tertentu.
“Ma, “ panggil Fajar kemudian. “Kayaknya aku benar-benar akan kembali ke Jakarta. Pak Ferdi sudah mengisyaratkan agar aku bersiap-siap,” kata Fajar.
“Kamu akan kembali ke Jakarta? Maksudmu dia jadi menunjukmu menjadi kepala kantor cabang yang di Jakarta?” tanya mamanya.  Sekitar beberapa bulan yang lalu Fajar sudah menceritakan perihal pembukaan cabang baru perusahaannya.
Semula mereka sekeluarga tinggal di Jakarta. Namun karena suatu kasus yang menimpa papanya di kantor, papanya di pindah ke Malang. Waktu itu Fajar sedang kuliah semester lima. Sampai Fajar lulus kuliah  dan bekerja selama hampir tujuh tahun lamanya, dia tinggal sendirian di Jakarta. Ada perasaan sesal sekaligus  khawatir yang hinggap di hati mamanya manakala ingat bagaimana kehidupan di Jakarta hampir memporakpoandakan masa depan Fajar.  Ia membiarkan anak tunggalnya itu bertahan sendirian di Jakarta dan tidak bisa mengurus dan mengawasinya karena dia harus mengurusi suaminya di Malang yang mulai sakit-sakitan itu.
Dan sesuatu yang dikhawatirkan itu memang terjadi. Ia melihat Fajar pulang dalam keadaan bagaikan mayat hidup. Ia dinyatakan kritis akibat pengaruh  alkohol dan juga jenis narkoba yang dikonsumsinya. Selama setahun Fajar berada di panti rehabilitasi dan tiga  tahun  tinggal di sebuah padepokan bersama seorang ustad dalam  masa penyembuhannya hingga ia dinyatakan bersih dan bisa kembali ke masyarakat dalam keadaan normal.
“Mama tenang saja, Ma. Aku akan baik-baik saja di Jakarta. Lagi pula kemungkinan  hanya untuk sementara aku berada di jakarta. Hanya untuk mengisi kekosongan jabatan saja. Dan kelanjutannya bisa saja nanti aku diganti oleh orang lain. Mungkin pak Ilham atau pak Doni. Mereka sudah lebih dari sepuluh tahun mengabdi di perusahaan. Sedangkan aku kan baru beberapa tahun kerja di perusahaan itu?”
Mamanya terlihat tercenung. Ia percaya pada putranya tidak akan kembali ke kehidupan kelamnya. Namun ia khawatir tentang hal yang lainnya lagi. Masa depannya. Dia nggak mungkin akan bekerja sepanjang hidupnya tanpa memikirkan untuk menikah dan berkeluarga.
“Dan sebulan dua bulan menjelang peresmian kantor cabang di Jakarta aku akan sibuk sekali. Pastinya juga akan bolak-balik Jakarta – Surabaya.” Tambah Fajar memberitahunya.
“Lalu kapan kamu akan memikirkan dirimu?” tanya mamanya mengeluh  dengan nada sedih dan prihatin.
“Maksud Mama?”
“Lalu kapan kamu akan memikirkan pernikahan? Ingat, umurmu sudah tidak muda lagi. Apa yang kamu tunggu? Seorang gadis sudah menunggumu dengan begitu sabar. Mama ingin kamu sehari-hari ada yang mengurusimu dan memperhatikanmu."
“Siapa maksud mama?”
“Marisa. Siapa lagi? Mama rasa dia gadis yang baik. Sopan, cantik, seksi, profesional di dalam pekerjaannya," jawabnya “Kenapa kamu nggak segera menjatuhkan pilihanmu kepada gadis seperti Marisa itu? Kurang apa dia?"
Fajar tidak segera menyahut. Hanya terlihat mengusap wajahnya yang berminyak dan berkeringat.  

Jumlah  :  4.911 kata
Total      :  17.256 kata