Profile Tokoh :
Sabtu, 31 Desember 2011
Dalam Hitungan Jam
Profile Tokoh :
Selasa, 20 Desember 2011
Beku, Bebal, Buntu.
Suatu ketika aku duduk diam di depan laptop selama berjam-jam. Hanya diam tanpa mampu menulis sekalimat atau sehurufpun. Ingin menulis, tapi tak ada ide sepercikpun di kepala. Ingin menulis, tapi tak ada kemampuan- untuk menulis apa-apa. Bebal. Mati rasanya otakku.
Aku mengingat-ingat belasan tahun yang lalu kenapa otakku rasanya penuh dengan imaji. Berjubel akan ide untuk sebuah tulisan. Kalau tidak segera dikeluarkan, kepalaku akan pusing dan rasanya akan meledak. Kemudian setelah aku menulis, berlembar-lembar tulisan tercipta. dan sulit sekali ketika ingin berhenti walau untuk istirahat.
Menurut ilmu yang pernah kudapat dalam sebuah buku yang sempat kubaca, jika sedang buntu dalam menulis, bacalah beberapa buku atau pergilah jalan-jalan. Nanti ide akan mengalir dengan sendirinya. Dulu aku ingat, aku suka sekali bahkan bisa dibilang tergila-gila dengan yang namanya cerpen atau novel. Dan selebihnya aku suka ngeluyur sendirian. Nonton, ke mall, nongkrong di sebuah tempat seperti , kantin, restoran siap saji atau halte. Dan dari sana ide muncul begitu saja dalam benakku. Apapun yang terjadi di sekitarku bisa jadi inspirasi untuk tulisanku. Masalahnya entah kenapa aku malas sekali membaca akhir-akhir ini. Kutawarkan pada diriku, tentang buku bacaan apa yang sekiranya menarik perhatianku. Novel karangan siapa atau dengan tema apayang sungguh-sungguh ingin kunikmati. Karena nggak ada jawaban, kubawa diriku ke Gramedia. Dan benar, sampai di sana mataku begitu bersemangat melahap judul-judul novel, cover serta nama-nama pengarangnya. Dan beberapa saat tanganku sudah mencabuti buku-buku di rak, terutama buku-buku dengan lebel discount besar.
Aku membaca novel bestseller yang tebal hingga separuhnya. Isinya bagus dan menarik. Tapi ide untuk sebuah tulisan tak kunjung datang. Ke mana aku harus mencarinya? Aku meneruskan bacaanku dan berusaha melupakan keinginanku untuk mencari kata-kata pertama untuk novel yang ingin kutulis. Ketika aku tengah menunggu bis yang akan membawaku ke Tanah Abang, aku duduk di sebuah bangku di halte. Di antara lalu lalang kendaraan di hadapanku, diantara hilir mudik orang-orang serta bermacam ucapan maupun perkataan serta bentuk umpatan atau derai tawa, semuanya terekam dalam telingaku. Aku menikmatinya tanpa menyadarinya. Lalu bispun datang. Setelah beberapa menit berdiri, akkhirnya aku dapat tempat duduk dan dengan leluasa memandangi keadaan di luar sana. Bis berjalan lambat karena macet di beberapa tempat. Selebihnya lancar dan ngebut. Melewati sebuah hotel, sebuah pasar, pertokoan, sekolahan, kampus, rumah sakit, juga rel kereta.
Dan serta merta bayangan itu muncul di benakku. Sosok-sosok dalam novelku. Wajah-wajah dalam khayalku, juga perangai dan watak-watak mereka serta lika liku kehidupan mereka menyelinap di dalam pikiranku. Entah dari mana datangnya mereka tiba-tiba sudah membenam di kepalaku. Sayangnya aku belum bisa memulai menuliskan ceritanya. Nanti awal Januari baru akan menuliskannya. Semoga ide mau bersabar menunggu hingga aku punya waktu dan kekuatan untuk menjabarkannya dalam bentuk tulisan yang indah. ***
Sabtu, 03 Desember 2011
Novel tentang Perjodohan di J50K ? Kenapa Tidak?
Beberapa lama setelah Bapakku meninggal, seorang pak de datang ke rumah dan menyampaikan sesuatu pada kami (ibu dan aku). Pak de Zamil, kami memanggilnya adalah kakak ipar dari bapakku alamarhum. Jadi, istri dari pak de Zamil dan bapakku itu kakak beradik. Beliau seorang yang kuat beribadah dan hidup sebagai pengurus masjid hingga di akhir usianya dan juga seorang guru, kemudian dipindah ke pengadilan Agama. Maka ketika bapak tiada, ibu selalu datang ke pak de untuk meminta pertimbangan jika ada sesuatu permasalahan, misalnya ketika ibu hendak punya hajad seperti ketika hendak nyelamatin Bapak, ketika hendak mengkhitankan adik bontotku, juga ketika hendak mantu kakakku yang pertama.
Informasi yang disampaikan pada kami waktu itu cukup mencengangkan. Ceritanya pak de waktu itu adalah saksi dari sebuah persetujuan rencana perjodohan yang dilakukan antara bapakku dengan salah seorang teman sekolahnya, aku lupa siapa namanya. Dari keempat anak perempuan yang dimiliki bapakku, akulah yang dipilih untuk dijodohkan dengan anak temannya. Sedangkan anak dari teman Bapakku itu waktu itu masih belajar di Jerman. Bukan kepanjangan dari Jejer Kauman. Benar-benar di negara Jerman.
Tapi wong ceritanya pak de waktu itu di saat Bapak sudah meninggal. Selang sebulan teman Bapak yang berencana akan berbesan itu juga meninggal karena kecelakaan. Begitulah pak de. Entah karena saking bijaksananya, atau karena baru ingat cerita itu. Karena dua orang yang berencana itu semuanya sudah tiada, maka cerita itu tinggalah cerita. Tidak akan ada yang penasaran atau menuntut ini itu.
Tapi cerita pak de itu sempat membekas di hatiku. Sampai sekarang aku selalu membayang bagaimana rasanya dijodohkan atau dipaksa menikah dengan seseorang. Rasanya sudah pasti jengah dan marah. Dan bagaimana ya rasanya ketika hidup dengan orang asing di mana orang asing itu adalah orang yang hendak kita layani 24 jam sehari selama hidup kita. Kalau orangnya baik dan cocok dengan kita. Kalau tidak?
Informasi yang disampaikan pada kami waktu itu cukup mencengangkan. Ceritanya pak de waktu itu adalah saksi dari sebuah persetujuan rencana perjodohan yang dilakukan antara bapakku dengan salah seorang teman sekolahnya, aku lupa siapa namanya. Dari keempat anak perempuan yang dimiliki bapakku, akulah yang dipilih untuk dijodohkan dengan anak temannya. Sedangkan anak dari teman Bapakku itu waktu itu masih belajar di Jerman. Bukan kepanjangan dari Jejer Kauman. Benar-benar di negara Jerman.
Tapi wong ceritanya pak de waktu itu di saat Bapak sudah meninggal. Selang sebulan teman Bapak yang berencana akan berbesan itu juga meninggal karena kecelakaan. Begitulah pak de. Entah karena saking bijaksananya, atau karena baru ingat cerita itu. Karena dua orang yang berencana itu semuanya sudah tiada, maka cerita itu tinggalah cerita. Tidak akan ada yang penasaran atau menuntut ini itu.
Tapi cerita pak de itu sempat membekas di hatiku. Sampai sekarang aku selalu membayang bagaimana rasanya dijodohkan atau dipaksa menikah dengan seseorang. Rasanya sudah pasti jengah dan marah. Dan bagaimana ya rasanya ketika hidup dengan orang asing di mana orang asing itu adalah orang yang hendak kita layani 24 jam sehari selama hidup kita. Kalau orangnya baik dan cocok dengan kita. Kalau tidak?
Langganan:
Postingan (Atom)