Selasa, 31 Januari 2012

OOPS ! J50K ....



Rasanya seperti menjadi pemain teater yang sudah latihan dan membuat berbagai persiapan untuk acara pentas. Begitu acara di mulai, aku begitu bersemangat dan terus melakonkan peranku. Tapi begitu acara sudah berlangsung beberapa lama, aku tidak bisa menyelesaikan peranku di panggung. Dan penyebabnya tidak lain karena kesalahanku sendiri. Sedih, malu, kecewa, keki, juga penasaran.

Mosok sih aku nggak bisa nulis novel dalam waktu sebulan? Ide cerita sudah di luar kepala. Dan berbagai persiapan berupa sinopsis, plot, karakter tokoh dan lain-lain sudah aku persiapkan. Kayaknya aku pasti bisa menyelesaikannya, deh. Begitu hatiku berusaha meyakinkan diri sekaligus bertekad bulat.

Namun hingga minggu ke dua aku masih bertahan di 15 kiloword. Aku penasaran. Setiap membuat kata, selalu salah. Setiap jadi satu atau dua kalimat bahkan hingga satu paragraf, selalu merasa nggak enak dibaca atau kurang sreg. Akhirnya kembali separagraf itu aku delete. Kesal dan geram. Sampai berhari-hari kejadiannya begitu terus. Aku mencoba rileks dengan membaca novel yang sudah aku kumpulkan menjelang J50K sebagai alat penangkis setiap kebuntuan dalam mendapatkan kata-kata. Beberapa lembar aku baca, aku mendapatkan semangat untuk menulis. Dalam waktu seminggu aku dapat 13 ribu kata. Jiehh! Senengnya.

Namun nasib baik rupanya belum berpihak kepadaku. Setelah 6 ribu sekian aku pindahkan ke blog, maksudku yang sekitar 7 ribu maksudku ingin aku edit lagi serta aku tambahkan sisipan cerita ringan. Namun entah karena aku salah pencet atau karena latopku yang soak, tiba-tiba tulisan sebanyak 7 ribu kata itu lenyap dari layar. Hilang begitu saja. Sudah di utak-atik, tak juga berhasil menemukannya.

Aku sempat syok. Dan berlarut-larut menyesali kenapa 7 ribu itu tidak aku simpan di flasdisk atau aku pindah ke blog. Seharusnya aku bisa terus menulis. Tapi aku nggak konsen sama sekali. Di samping itu banyak hal yang membuatku susah menulis. Anakku yang rewel dan nggak mau melihatku berdiam di depan laptop, aku kena flu berat, dan lain waktu mag-ku kumat, juga kegiatan sosial lain di sekitar rumah yang banyak sekali menyita waktuku selama bulan januari ini.

Seharusnya ketika kita tidak ada mood menulis, berusahalah membaca. Membaca apa saja. Saya sudah tahu itu. karena 'penyakit' menulis novel adalah merasa jenuh dan kehilangan kata-kata ketika hendak menuliskan cerita yang sudah mengalir di dalam pikiran. Aku sudah menyiapkan 4 buah nove menjelang J50K. Namun keempatnya tidak ada yang aku selesaikan membacanya sampai sekarang. Malas banget membaca. Dan begitulah. Kalau kita kurang membaca, kwalitas tulisan kita aku yakin juga akan kurang. Aku sendiri merasakannya, apalagi orang lain kalau nantinya ikut membaca tulisan kita.

Segala sesuatu ada waktunya. Aku yakin waktuku untuk memenangkan J50K akan datang suatu ketika. Lagi pula ini baru yang pertama kalinya aku ikut event ini. Aku  bersyukur bertemu dengan Kampung Fiksi. Sebuah tempat yang sudah lama ingin aku menemukannya. Dan teman-teman di dalamnya, terima kasih yang tak terhingga karena sudah menjadi penyemangat dalam menulis di event J50K.

Semoga semangat menulis akan terus datang pada waktu-waktu mendatang. Dan menyelesaikan novel "Prastiwi" yang tertahan di 25 ribu kata, insya Allah akan menjadi target utama tahun ini. Ayo, semangat menulis!

Minggu, 22 Januari 2012

14. Pertemuan terakhir (?)



Nada getar handphone merambah hingga ke seluruh permukaan mejanya yang penuh dengan tumpukan berkas pekerjaannya. Perlahan Fajar membuka sms yang masuk. "Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Maaf." Ia mengulang  membaca  kalimat itu sampai beberapa kali dan mendapati kesimpulan yang sama dari pesan itu. Prastiwi?
Darahnya berdesir lirih mengingat nama itu. Dan perasaan yang selama ini dikungkungnya kini menerobos keluar dan tak mampu dibendungnya., berhamburan liar memenuhi dadanya dan berlarian hingga ke otaknya. Apa yang akan dilakukannya? Apa ia akan menemuinya? Tapi, ia ingat mamanya. Masih terngiang dalam ruang telinganya setiap kata matanya tentang siapa Prastiwi. Dia orang yang dulu menolak dijodohkan dengannya. Apapun alasan yang dimilikinya, tetap saja penghinaan itu tidak bisa begitu saja dimaafkan. Ia menggeleng, dan tegas memutuskan tidak akan menemuinya. Demi mamanya. Demi harga dirinya.

Rabu, 18 Januari 2012

10. Fajar



Sebenarnya ini gabungan dari 3 bab yang berjudul :

10.  Fajar
11.  Marisa, cewek pilihan mama
12.  Kegusaran mama


Tiga bab ini menceritakan tentang Fajar yang menceritakan pada mamanya bahwa ia akan dipindah ke Jakarta dengan jabatan baru di kantornya, yaitu sebagai Kepala Kantor Cabang.  Mamanya tidak keberatan dengan pekerjaan barunya itu, namun dia khawatir dengan masa depannya yang hingga kini belum juga menemukan seseorang untuk dijadikan sebagai calon pendamping hidupnya.mengingat usinya yang tak muda lagi. Lalu mamanya menjodohkan Fajar dengan Marisa, sekretaris di kantor Fajar. Fajar menerima perjodohan yang diatur mamanya itu. Namun suatu ketika mamanya memergoki Fajar membawa sebuah foto seorang gadis. Betapa marahnya mamanya begitu mengetahui siapa sebenarnya gadis itu. Prastiwi. Prastiwi adalah anak dari temannya. Dia adalah gadis yang dulu pernah dijodohkan dengan Fajar tapi serta merta menolak perjodohan yang direncanakan oleh kedua orang tua dari Fajar maupun dari pihak Prastiwi.


Cuplikan :


Seorang wanita setengah baya dengan wajah yang masih menyinarkan sisa-sisa kecantikannya menyambutnya dengan hangat di ruang depan. Fajar merunduk seraya memberinya ciuman penuh sayang padanya.
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya mamanya begitu mereka duduk di ruang tengah. Seorang pembantu datang menyuguhkan secangkir teh hangat di atas meja.
"Baik-baik saja, Ma," Fajar langsung menyeruputnya dan meletakkan sisanya di atas meja lagi. “Mama jadi pergi ke yayasan hari ini?”
“Iya, sama bu Heni dan bu Wiwik. Pulang dari yayasan, mereka mengajak makan, lalu jalan-jalan ke mal. Haduuh, mereka orang-orang sudah pada tua masih saja doyan belanja kayak anak muda.”
“Memangnya belanja apa mereka?”
“Baju, sepatu dan apa lagi tadi? O, iya, kalung-kalung dan perhiasan dari batu-batu alam begitu.”
“Mama juga ikut belanja, dong,” tebaknya.
“Yach, terbawa arus. Mama ikut beli baju atasan yang lagi diskon. Bahannya sutera dan ada manik-manik di bagian dada dan ujung lengannya,”
Fajar menertawai mamanya yang akhirnya mengaku tergoda untuk membeli baju. Padahal dua lemari di kamarnya sudah tidak muat menampung pakaian-pakaiannya. Sesekali ia membawakan pembantu di rumah mereka  itu sebuntalan baju-baju untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan di kampungnya.
Setelah suaminya meninggal sekitar satu setengah tahun yang lalu, Hartati, mamanya Fajar mengisi kehidupannya dengan berkebun anggrek di belakang rumahnya. Bermacam anggrek dengan bunga yang berwarna warni menghiasi rak-rak yang berjajar di tengah taman. Selain anggrek di juga melengkapi taman luas di belakang dengan tanaman-tanaman bunga lainnya. Ketika sore hari, sambil menikmati teh dan makanan kecil di teras belakang dia selalu menyempatkan dirinya menikmati keindahan bunga-bunganya.
Selain bertanam bunga, tidak ada kegiatan lain yang dilakukannya selain bersama teman-teman dekatnya seperti bu wiwik dan bu Heni. Keduanya aktif dalam kegiatan sosialita berupa mengumpulkan dana-dana dari sebuah kegiatan kemudian menyumbangkannya pada sebuah yayasan tertentu.
“Ma, “ panggil Fajar kemudian. “Kayaknya aku benar-benar akan kembali ke Jakarta. Pak Ferdi sudah mengisyaratkan agar aku bersiap-siap,” kata Fajar.
“Kamu akan kembali ke Jakarta? Maksudmu dia jadi menunjukmu menjadi kepala kantor cabang yang di Jakarta?” tanya mamanya.  Sekitar beberapa bulan yang lalu Fajar sudah menceritakan perihal pembukaan cabang baru perusahaannya.
Semula mereka sekeluarga tinggal di Jakarta. Namun karena suatu kasus yang menimpa papanya di kantor, papanya di pindah ke Malang. Waktu itu Fajar sedang kuliah semester lima. Sampai Fajar lulus kuliah  dan bekerja selama hampir tujuh tahun lamanya, dia tinggal sendirian di Jakarta. Ada perasaan sesal sekaligus  khawatir yang hinggap di hati mamanya manakala ingat bagaimana kehidupan di Jakarta hampir memporakpoandakan masa depan Fajar.  Ia membiarkan anak tunggalnya itu bertahan sendirian di Jakarta dan tidak bisa mengurus dan mengawasinya karena dia harus mengurusi suaminya di Malang yang mulai sakit-sakitan itu.
Dan sesuatu yang dikhawatirkan itu memang terjadi. Ia melihat Fajar pulang dalam keadaan bagaikan mayat hidup. Ia dinyatakan kritis akibat pengaruh  alkohol dan juga jenis narkoba yang dikonsumsinya. Selama setahun Fajar berada di panti rehabilitasi dan tiga  tahun  tinggal di sebuah padepokan bersama seorang ustad dalam  masa penyembuhannya hingga ia dinyatakan bersih dan bisa kembali ke masyarakat dalam keadaan normal.
“Mama tenang saja, Ma. Aku akan baik-baik saja di Jakarta. Lagi pula kemungkinan  hanya untuk sementara aku berada di jakarta. Hanya untuk mengisi kekosongan jabatan saja. Dan kelanjutannya bisa saja nanti aku diganti oleh orang lain. Mungkin pak Ilham atau pak Doni. Mereka sudah lebih dari sepuluh tahun mengabdi di perusahaan. Sedangkan aku kan baru beberapa tahun kerja di perusahaan itu?”
Mamanya terlihat tercenung. Ia percaya pada putranya tidak akan kembali ke kehidupan kelamnya. Namun ia khawatir tentang hal yang lainnya lagi. Masa depannya. Dia nggak mungkin akan bekerja sepanjang hidupnya tanpa memikirkan untuk menikah dan berkeluarga.
“Dan sebulan dua bulan menjelang peresmian kantor cabang di Jakarta aku akan sibuk sekali. Pastinya juga akan bolak-balik Jakarta – Surabaya.” Tambah Fajar memberitahunya.
“Lalu kapan kamu akan memikirkan dirimu?” tanya mamanya mengeluh  dengan nada sedih dan prihatin.
“Maksud Mama?”
“Lalu kapan kamu akan memikirkan pernikahan? Ingat, umurmu sudah tidak muda lagi. Apa yang kamu tunggu? Seorang gadis sudah menunggumu dengan begitu sabar. Mama ingin kamu sehari-hari ada yang mengurusimu dan memperhatikanmu."
“Siapa maksud mama?”
“Marisa. Siapa lagi? Mama rasa dia gadis yang baik. Sopan, cantik, seksi, profesional di dalam pekerjaannya," jawabnya “Kenapa kamu nggak segera menjatuhkan pilihanmu kepada gadis seperti Marisa itu? Kurang apa dia?"
Fajar tidak segera menyahut. Hanya terlihat mengusap wajahnya yang berminyak dan berkeringat.  

Jumlah  :  4.911 kata
Total      :  17.256 kata




Selasa, 17 Januari 2012

9. Perasaan indah yang menyiksa


Rapat siang itu selesai dalam waktu sekitar dua jam. Ruang sekretariat yang semula tenang dan hanya satu dua orang yang bicara dengan rupa formal, saat ini seperti pasar tumpah.  Dalam waktu sekejap semua telah berubah. Gaduh, ribut juga penuh gelak tawa di sana sini. Beberapa orang yang masih nampak berdiskusi di dalam ruangan itu terlihat seolah-olah hanya menggerak-gerakkan bibir, kepala dan tangan saja ketika sedang berbicara. Suara mereka tenggelam dalam hiruk pikuk aneka coleteh atau seruan lantang di sekitar mereka.

Prastiwi masih tak beringsut dari kursinya. Sedikitpun tidak terbawa oleh suasana ramai itu. Ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan mulai tenggelam dalam dunianya. Matanya memandangi tulisan, namun ia sedang tidak membaca. Pandangannya sesungguhnya menerawang dan melamun. Telinganya juga tidak sedang meradang oleh keributan. Ia sedang tidak mendengar suara apapun selain kata-kata sang Ketua Umum yang masih terngiang-ngiang seperti saat dalam rapat tadi ketika menyatakan keputusan finalnya bahwa utusan untuk pelatihan SAR tingkat nasional dipilih Arik dan Prastiwi.
Kepalanya tergeleng lemah dan desah panjangnya mewakili keluhan yang serasa menyesak dalam dadanya dan sulit sekali ketika hendak ia keluarkan. Ia tidak mau berangkat bersama Arik. Tapi bagaimana ia mengatakan pada Alba? Alasan apa yang akan ia kemukakan untuk menolak penunjukan atas dirinya itu? Ia akan mundur. Atau Arik digantikan dengan orang lain. Tapi apa bisa? Rasanya mustahil.
“Hei, Pras!”
Gadis itu terhenyak.  Arik sudah berdiri di hadapannya. Dikerjapkan matanya untuk menyingkirkan pikiran-pikiran di dalam otaknya. Ia berusaha tersenyum kecil menyambutnya, “Hei, Rik!”
“Kamu baca apa?”
Ia menyodorkan buku catatan kuliah ketika cowok itu mendekat ke arah sisi tempat duduknya dan duduk di sebelahnya. “Oh, kuliah Ilmu Ukur Tanah?”
Diseretnya kembali bukunya menuju di hadapannya. Dan Prastiwi menatap kembali tulisan dalam bukunya tanpa berusaha untuk sungguh-sungguh membacanya, apalagi memahami apa isinya.
“Kamu kenapa, sih?” gumam Arik heran sesaat kemudian.
“Kenapa?” Prastiwi bertanya pula sambil menoleh. Cowok itu tengah menatapnya dengan tatapan yang sendu bercampur curiga.
“Kamu selalu diam dan  melamun. Apa kamu sedang punya masalah?”
 “Ah, enggak, kok?” kilahnya
“Kamu jangan bohong!”
“Aku hanya pusing  mikir tugas kuliah yang seabrek-abrek. Mana komputerku rusak.” Ia menemukan jawaban itu sambil benar-benar mengeluh.
“Masih belum jadi diservis?”
“Sudah, tapi nggak tahu, error lagi, error lagi,”
“Ya, bawa lagi ke tukang servisnya!”
“Males. Biar saja, lah. Mungkin memang sudah nggak bisa dipakai lagi. Komputerku itu sudah model kuno.”
“Dari kemarin aku sudah ngomong, mbikin tugas ke tempatku saja kenapa, sih?”
“Nggak usah, Rik, aku ke warnet saja,” tolaknya.
Mungkin Arik belum menyadarinya bahwa Prastiwi sudah berpikir untuk menjaga jarak mulai sekarang-sekarang ini. Kalau tidak dalam keadaan memaksa ia tak kan lagi terlihat runtang-runtung bersama cowok itu. Ketika usai kuliah, ia akan selalu cepat menyelinap keluar lebih dulu. Kalau sebelumnya dia dan Arik selalu keluar bersama-sama dan tiba di sekretariat sebagai mana layaknya pasangan sejoli, tapi dalam beberapa hari ini mereka terlihat berjalan sendiri-sendiri. Agaknya belum ada yang menyadarinya. Maka Prastiwi nampak tenang-tenang saja.
“Kenapa sih Pras kamu ini?”
Namun suatu ketika teguran itu datang menghampirinya, bahkan kembali menginterogasinya. Prastiwi mengerutkan dahi, pura-pura nggak ngerti arah, tujuan,  dan maksud dari pertanyaan itu.
“Kamu sengaja mau menyiksa Arik. Ya, kan?” tuduh Yessi.
“Apa?”
“Alaa, nggak usah pura-pura nggak tahu. Kamu menghindari  Arik maksudmu apa? Ayo jawab!” tanya Sabrina pula mulai geregetan.
“Aku ingin membuktikan bahwa gosip yang beredar tentang aku dan Arik itu nggak benar. Kami benar-benar nggak ada hubungan apa-apa selain teman.” Jawab Prastiwi.
“Gila kamu, Pras! Kamu tahu bagaimana perasaan Arik terhadap kamu, kan?”
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Tolong kalian jangan melebih-lebihkan masalah itu. Banyak cewek yang naksir Arik. Mereka lebih cantik, lebih seksi, lebih hebat ketimbang aku. Dia bisa memilih satu dari mereka. Lagi pula kenapa harus aku, sih? ”
“Memangnya kenapa kalau dia lebih milih kamu ketimbang mereka? Arik mencintaimu, Pras. Dia bisa bunuh diri kalau kamu sampai meninggalkannya. Kamu tahu, nggak, dia bisa saja kuliah ke luar negri. Tapi dia memilih kuliah di sini. Itu semata-mata karena dia pengin dekat dengan kamu. Dia ingin bersamamu!”
Prastiwi nyaris tertawa menanggapi kata-kata Sabrina yang agak berlebihan dan menyerupai sebuah  serentetan tembakan. Bunuh diri? Arik akan bunurh diri? Kira-kira dengan cara apa dia akan bunuh diri? Menggantung lehernya? Memotong urat nadinya? Atau menabrakkan dirinya di jalan raya yang penuh kendaraan? Benar-benar keduanya itu pengin membuat status mereka yang semula tukang gosip bisa berubah menjadi mak comblang sejati.  
Tapi bisa saja terjadi kalau Arik memang mau mengakhiri hidupnya selama dia terus ikut-ikutan mabuk setiap hari dengan anak-anak gebleg di sekretariat. Dan Prastiwi nggak akan perduli dengan apa yang dilakukannya. Ia sudah pernah menegurnya. Tapi Arik selalu ngeles dan membantah bahwa dirinya nggak ikut minum-minum. Padahal ia mendengar  laporan  dari seseorang,  Arik memang ikut minum, bahkan mabuk. Dan alasan kebiasaan buruk yan dimiliki Arik itu yang akan dimanfaatkan Prastiwi untuk mulai menjauhinya.
Hari Sabtu lalu Prastiwi sudah  akan berangkat ke Panderman. Tapi begitu ia tahu Arik ada bersama rombongan itu, ia akhirnya memutuskan tidak jadi ikut. Betapa kesalnya Yessi dan Sabrina. Prastiwi ingat, di manapun ia berada, setiap kali Arik mendekatinya, semua orang akan menjauhi keduanya. Untuk itulah ia mengambil sikap untuk tidak ikut bersama mereka.
Begitupun ketika suatu kali Sabrina mengajaknya menghadiri kegiatan Pendidikan Latihan Dasar lapangan yang diadakan oleh anak-anak pecinta alam sekolah menengah di daerah Pagak. Ia sudah ingin berangkat. Namun niatnya mendadak surut manakala tahu mereka berangkat dengan mobil Jeep milik Arik. Dan rencana mereka hanya berempat yang berangkat. Alba, Sabrina, Arik dan Prastiwi. Prastiwi sudah bisa menebak, Alba dan Sabrina sengaja membuat rencana agar dia dan Arik bisa berduaan nantinya.
Benar-benar sesuatu yang tidak mampu ia tampung di dalam ruang pikirannya. Ia pacaran dengan Arik? Hanya kalau kehidupannya hanya sebatas di ruang sekretariat, tentu hal itu menjadi sesuatu yang menyenangkan dan membanggakan. Tapi ia tinggal bersama ibunya. Rumah tinggalnya yang kecil dan sederhana tidak akan sepadan dengan rumah di komplek perumahan mewah milik Arik. Dan ibunya? Oh, tidak. Prastiwi tidak bisa membayangkan ia akan membawa cowok gondrong yang punya bekas tindik di telinganya itu di hadapan ibunya. Ibunya bisa sakit parah melebihi bapaknya dulu. Dan satu hal. Seingat Prastiwi ia tidak pernah tertarik berhubungan dengan cowok yang seumuran dengannya seperti halnya Arik atau Abdila. Kalaupun ia tergila-gila, pastilah cowok itu lebih tua beberapa tahun di atasnya. Seperti halnya Hendri, pembina kegiatan pecinta alam di sekolahnya dulu, atau Fajar. Fajar, laki-laki yang ditemuinya di restoran siap saji.

***

“Fajar, memangnya kamu umurnya berapa?”
“Tiga puluh delapan.”
Ha? Tiga puluh delapan? Prastiwi tergagap mendengar angka itu. Ia tidak ingin percaya, tapi itu yang dikatakan Fajar.
“Kalau kamu?” tanya Fajar kemudian.
“Aku? Sembilan belas,” jawabnya. Sebenarnya baru delapan belas. Tiga bulan lagi ia baru menginjak sembilan belas.
“Kamu masih muda sekali,”  gumamnya menatap wajah belia itu.
Prastiwi mengingat pertemuan  di restoran sore itu. Ia sudah berada di tempat parkir dan merasa ragu ketika hendak masuk ke dalam restoran. Apa Fajar sudah berada di dalam sana? Ia begitu gelisah ketika memikirkan kenapa ia harus memenuhi permintaan Fajar agar bersedia bertemu lagi setelah pertemuan mereka kemarin itu? Untuk apa ia harus menemuinya kembali? Hanya untuk sebuah pertemanan? Pertemanan model apa? Kalau memang hanya benar-benar mengharapkan pertemanan, kenapa ia sangat tidak sabar menunggu dosen mengkhiri perkuliahan di kelasnya dan ia juga begitu gelisah menunggu saat-saat di mana ia akan pergi menemuinya?
Pertemanan yang wajar hanyalah terjalin seperti halnya pertemanannya dengan teman-teman kuliahnya. Tapi pertemanannya dengan Fajar? Prastiwi sadar sepenuhnya. Ia menghadapi  pertemanan yang tak wajar dengan laki-laki itu. Usia mereka berselisih jauh. Dan hubungan mereka sama sekali bukan terkait saudara atau kerabat.  Pertemuan merekapun begitu ganjil karena selalu bertemu di tempat umum di tengah keramaian orang, sehingga sulit orang membedakan apa mereka adalah pasangan yang baru kenal dan bertemu dengan tidak sengaja atau pasangan yang memang memiliki hubungan cinta.
Sebuah mobil licin dan mengkilat melintas di dekatnya, kemudian berhenti dalam jarak beberapa meter darinya.  Prastiwi merasakan getar pada sekujur tubuhnya begitu mengenali seseorang yang keluar dari dalamnya. Fajar?  Apa benar ia menaiki mobil semewah itu? Tanya hatinya dengan heran dan ragu. Di dekat pintu mobilnya, laki-laki itu melepas jas serta dasinya. Dan begitu terlihat kemeja biru yang waktu lalu pernah dikenakannya, Prastiwi baru sangat yakin mengenalnya. Dia benar-benar Fajar. Tidak lain.
Fajar meninggalkan mobilnya dan melangkah menuju pintu restoran. Dalam jarak beberapa langkah, ia dihadang seorang perempuan renta yang berjalan membungkuk sambil menadahkan tangannya. Fajar mengambil dompet lalu mencabut selembar uang kertas dan diulurkan kepada pengemis itu. Sambil membungkuk-bungkuk penuh rasa terima kasih, dia beranjak pergi.
“Kenapa kamu belum menikah?” tanya Prastiwi hati-hati waktu itu. Tiba-tiba saja pertanyaan itu menyembul di pikirannya. Dan ia tak tahan untuk tidak melontarkannya. “Bukankah orang sepertimu seharusnya sudah menikah dan punyaanak?” tambahnya.
“Karena belum ketemu jodoh,” jawabnya  enteng.
“Apa karena patah hati ?” tanyanya lagi.
“Oh, enggak.”
“Jadi...kamu benar belum menikah?” gadis itu terkekeh pelan.
 “Iya. Demi Allah, aku belum menikah,” ucapnya sambil menatap wajah bundar itu dengan sungguh-sungguh.
Merinding Prastiwi mendengar lelaki itu bersumpah atas nama Tuhan. Ia hanya sengaja ingin bercanda tapi Fajar menanggapinya dengan serius.
“Iya, iya, aku percaya,” sahutnya buru-buru.
“Kalau kamu nggak percaya, kamu boleh datang ke rumahku. Aku hanya tinggal berdua dengan mamaku. Tidak ada siapa-siapa lagi di rumahku. Hanya aku dan mamaku.”
“Jangan marah, Fajar. Aku tadi hanya bercanda, kok.”
Fajar tersenyum kalem menanggapi ucapannya.
Ada yang dirasakan Prastiwi setelah pertemuannya dengan Fajar beberapa hari yang lalu. Ia selalu merasa gelisah dan suka menyendiri. Di sekretariat ia seringkali terlihat melamun. Sifatnya yang semula memang  agak pendiam dibandingkan anak-anak yang lainnya, kini makin pendiam. Di kelas ia susah sekali konsentrasi dengan mata kuliah yang diajarkan dosen. Kapanpun dan di manapun ia berada, selalu Fajar yang membayang di matanya. Beberapa kali ia mengambil kartu nama dengan kertas mengkilat berwarna abu-abu itu dari dalam tasnya. Betapa ingin ia menelpon laki-laki itu. Tapi  setiap kali hatinya menahan niatnya itu.
Entah apa maksud  Fajar ketika menginginkan mereka bertemu waktu itu. Prastiwi tidak mampu menebak dengan pikiran polosnya, kecuali berpikir tentang niat pertemanan Fajar yang tulus murni. Dia orang baik-baik. Begitu Prastiwi memberi penilaian sejauh ini. Sederhana, kalem, ramah, sopan serta tidak jelalatan ketika melihat cewek lewat di dekatnya. Sangat jauh dari bayangan Prastiwi tentang laki-laki om-om hidung belang yang suka mencari mangsa gadis remaja seusianya.
Apa Fajar akan menyukainya sebagaimana harapannya? Oh, entahlah. Lagi pula mana mungkin, sih? Pikirannnya makin galau mengingat Fajar dengan segala kelebihan yang dimilikinya adalah laki-laki matang, dewasa, mapan, dan sangat menarik. Apa mungkin ia akan menyukai dirinya yang hanya seadanya dan tidak punya sesuatu yang bisa  dibanggakan begitu? (Bersambung)

Jumlah  :  1.728
Total      :  12.345




Selasa, 10 Januari 2012

8. PERTEMUAN

“Hai.”
Fajar menyapanya dengan suaranya yang kalem itu. Prastiwi terpana menatap senyum manisnya yang terbentuk hanya dengan sedikit saja ia menarik kedua ujung bibirnya. Matanya yang agak sipit mengandung binar-binar ketidaksabaran, menunggunya  hingga tiba di sisi mejanya.
“Sini, duduklah!” ajaknya dengan ringan seraya menarik sebuah kursi yang berada di hadapannya.
“Makasih,” jawab Prastiwi sambil duduk dan meletakkan minumannya di atas meja. Ia nampak kikuk dengan posisi berhadapan-hadapan dengan laki-laki itu. Dibujuknya hatinya agar berhenti berdebar-debar tak karuan begitu. Ia pastikan bahwa Fajar adalah seorang yang nggak ada bedanya dengan cowok-cowok di sekretariat. Jadi dia tidak perlu grogi, gemetar atau serba salah.
Satu hal yang sebenarnya  membuatnya tidak nyaman adalah bahwa ternyata laki-laki di hadapannya itu punya daya tarik tersendiri ketika orang memandangnya agak lama. Dia itu tampan. Tidak perduli orang akan berpikir bahwa dia itu sudah tua, bahkan berumur jauh di atas Budi, kakak laki-laknya. Dia sungguh sebaya om om begitu. Prastiwi berusaha keras menepis bayangan salah satu temannya tiba-tiba datang ke tempat itu dan memergoki dirinya seolah tengah kencan dengan seorang om-om.. Hmmm, apa kata mereka nanti seandainya tahu pemandangan mengerikan di tempatnya kini.
“Sebenarnya aku menunggumu dari kemarin. Di sini,” kata Fajar sambil menatapnya. “Apa kamu sibuk selama beberapa hari ini?”
Dia menungguku? Untuk apa? Prastiwi membatin dengan heran.
“Bukankah dulu kamu bilang rumahmu dekat sini? Benar, kan?”
“Iya. Di belakang sana,” ia menunjuk ke sembarang arah dengan dagunya.
“Di belakang mana?” tanya  Fajar sambil mengernyitkan dahi.
“Di belakang gedung pertokoan. Ada sebuah gang kecil...”
Meski tetap nggak paham dengan jawaban yang mengambang itu Fajar tetap tersenyum maklum. “Ternyata susah sekali menemukanmu dengan jarak rumahmu yang hanya beberapa ratus meter dari alun-alun sini. Kamu jarang kemari?”
“Aku sedang ada kegiatan di kampus. Dan... lagi banyak tugas.”
 “O, begitu?”
“kebetulan aku tadi ke toko buku mencari literatur untuk tugas makalah.”
“Kamu beli buku?”
Senyumnya malu-malu tersembul. Sementara kepalanya tergeleng. “Enggak. Bukunya ternyata mahal banget. Aku nggak  jadi membelinya. Hanya numpang baca saja.”
Fajar menyeringai geli mendengar penuturan polos itu. Ditatapnya wajah polos itu perlahan. “Apa kamu mau makan sesuatu? Fried chicken? Burger atau es krim?. Tenang saja. Aku akan mentraktirmu,” kata Fajar.
Prastiwi menenggelamkan pandangannya ke dalam gelas besarnya. Dihirupnya perlahan-lahan minumannya. Ia menolak dengan halus tentu saja tawaran itu. Meskipun dari kemarin ingin sekali ia makan burger. Tapi mereka, kan baru kenal? Nanti Fajar mengira mentang-mentang dia anak kuliahan yang miskin, lalu mau begitu saja di traktir. Ia memang tadi datang ke restoran itu dan berniat untuk tidak membeli sesuatu selain minumannya. Kamputernya sedang error dan perlu diservis. Dan program membeli sleeping bag yang sudah direncanakan dua bulan lalu  harus segera dilaksakan. Karena ia tidak ingin merepotkan Arik untuk mencarikan pinjaman sleeping bag setiap kali ia pergi naik gunung. Untuk itu ia harus mengirit mulai dari sekarang.
“Bener kamu nggak mau pesan makanan apa-apa?”
“Trima kasih. Aku masih kenyang.” Ia berpikir-pikir untuk memanggil Fajar dengan sebuatan apa. Mas, Om atau Pak? Atau Fajar gitu aja? Seperti ia menyebut begitu saja nama cowok-cowok di dalam sekretariat. Kelihatannya lebih simpel dan akrab. Tapi apa sopan? Dia jauh lebih tua darinya. Apa Fajar tidak akan tersinggung dengan sebutan namanya yang tanpa embel-embel apa-apa?
“Bagaimana kabar teman-teman sekolahmu dulu itu? Aku ingat nama-nama mereka, tapi lupa wajah mereka. Ada Dewi, Hanim, Alita, benar, kan?”
”Kami sudah jarang berkomunikasi. Mungkin karena kesibukan kami masing-masing. Hanya aku dan Dewi yang masih sering nelpon, ngobrol banyak tentang kegiatan kami di kampus. Dewi sekarang kuliah di Jogja. Sedangkan Hanim pindah ke Banjarmasin dan aku dengar dia kuliah sambil bekerja di sebuah perusahaan pengiriman barang. Lalu Alita sekarang berada di Australi. Dia lebih jauh lagi. Nggak tahu kapan kami akan bertemu lagi.”
“Jadi temanmu yang bernama Dewi sekarang kuliah di Jogja? Yang mana anaknya, ya?”
“Kalau Dewi anaknya yang paling cantik di antara kami. Dia juga seksi. Semua cowok pasti suka kalau melihatnya.”
“Oya?” sahut Fajar dengan semangat. “Dia menelponku beberapa hari yang lalu.”
Prastiwi mengiyakan.“Dia juga cerita kemarin. Maaf, ya, sebenarnya aku benar-benar nggak ingat sama kamu. Bahkan sampai hari ini. Tapi Dewi mengatakan bahwa kamu bersama kami waktu itu.”
“Maksudmu sama sekali kamu nggak ingat siapa aku?” tanya Fajar kecewa.
Prastiwi menggelengkan kepalanya dengan pelan namun tegas. “Entahlah, mungkin karena waktu itu aku sedang banyak masalah. Jadi aku nggak ingat siapapun yang kutemui kecuali sahabat-sahabatku,” ucapnya lirih.
“Kamu punya masalah apa ?”
“Aku lagi patah hati waktu itu,” Sejurus ia mengucap, sejurus pula ia terkekeh. Ia merasa bodoh harus mengungkap masalah pribadinya itu dengan orang asing. Tapi ucapan itu sudah keluar. Dan nggak mungkin ia tarik kembali.
“Kamu patah hati? Prastiwi, siapa yang sudah membuat hatimu patah patah, sih?” tanyanya lembut seakan mengolok-ngoloknya.
“Sudah, aku nggak ingin membahas itu lagi,” jawabnya setengah memohon.
Fajar menyeringai geli melihat reaksi itu. Ia tidak percaya gadis lugu begitu sudah pernah meradang oleh getirnya cinta. Siapa laki-laki yang tega membuat luka di hatinya? Tanpa menunggu persetujuan ia memanggil waiters seraya melambaikan tangannya. Seorang cowok datang dan menyapa Prastiwi dengan senyumnya yang lebar. Fajar memesan minuman yang sama dengan miliknya dan milik Prastiwi, serta meminta pula dua buah beef burger.
“Kamu kenal cowok itu tadi?” tanyanya begitu pelayan itu beranjak pergi.
“Aku kenal hampir semua karyawan di sini. Dulu aku sering ke sini, apalagi waktu masih ada teman-temanku Hanim, Alita dan Dewi,” jelasnya.
“Kulihat kamu ke sini selalu sendirian. Lalu duduk melamun di pojok sana. Apa kamu nggak punya teman?”
“Kadang-kadang aku lebih senang sendiri. “
“Oya? Bukankah lebih enak kalau kita punya teman? Bisa ngobrol seperti sekarang ini.”
Prastiwi mengingat pertemuan pertama mereka dulu. Iabenar-benar merasa terganggu dengan kehadiran Fajar di dekatnya. “Aku nggak bisa beramah tamah dengan orang yang baru kukenal.”
“Kenapa? Pantas saja kamu kelihatan judes waktu ketemu dulu itu. Apa kamu pikir aku orang jahat waktu itu?”
“Yach, siapa tahu?”
Fajar terbelalak. Tapi sesaat seseorang datang membawa pesanan. Setelah meletakkan mmakanan dan minuman  ke atas meja, ia mengulurkan sebuah struk belanja dan uang kembalian. “Sudah, ambil saja kembaliannya. Trimas kasih, ya?”
“Trima kasih kembali, Pak!” ucapnya sambil berlalu.
“Silakan,” kata Fajar sambil menyodorkan minuman dan makanan ke tengah meja.
Prastiwi tersenyum menyambut makanan kesukaannya itu. Meski air liurnya sudah hampir menetes, ia tak segera menyentuhnya. Dilihatnya Fajar malah bersedekap tangan di meja persis seperti murid TK yang tekun mendengarkan guru di depan kelas.
“Prastiwi, apa kamu  punya pacar?” pertanyaan itu meluncur  dari mulutnya.
Prastiwi tercengang. Tapi kemudian menggeleng. “Nggak punya.” Ia tidak akan gengsi mengakuinya, seperti ketika Arik menanyakan pertanyaan serupa.
“Ah, cewek cantik kayak kamu nggak punya pacar?”
Prastiwi tidak serta merta melambung. Dari kecil ia sudah kenyang dengan pernyataan pujian seperti itu. Hampir setiap saat dulu ia mendengarnya, baik dari bapak atau ibunya, saudara dan kerabat, guru TK, juga tetangga. Namun kecantikan yang ia sadari dalam dirinya bukan kecantikan untuk dipamerkan begitu saja kepada orang lain atau kepada lawan jenis, melainkan kecantikan yang diimbangi dengan sikap sopan, patuh, tidak cengeng, tidak ngambek dan sifat-sifat baik lainnya. Jadi selama ia menentang orang tuanya atau tidak menuruti nasehat mereka, sedikitpun ia merasa tidak cantik.
“Kalau kamu?” Prastiwi mengembalikan pertanyaan itu kepadanya. Dan tiba-tiba ia menyadari sudah mengambil keputusan dengan menyebut ‘kamu’ pada laki-laki dewasa di hadapannya itu. Bukan sebutan wajar seperti mas Fajar, Om, atau Bapak, misalnya.
 “Aku?”  tanya Fajar.
“Apa kamu sudah punya istri?” tanyanya seterang sinar matahari sore yang menembus pelataran restoran.
Fajar nampak terkesiap. “Apa aku seperti orang yang sudah beristri?” tanyanya balik  tanpa terlihat tersinggung. Senyumnya tertahan diujung bibirnya.
“Iya. Dan seperti punya empat anak!” jawabnya serta merta tanpa ampun. Disertai tawanya yang renyah.
“Kamu benar-benar menghina, ya?” keluh Fajar.
“Sorri, aku bercanda,” ucapnya tanpa merasa berdosa sedikitpun, namun bibirnya yang tipis memerah itu masih menyisakan  senyuman dan semacam olok-olok. Ia tidak tahu laki-laki itu berkata bohong atau yang sebenarnya. Dan ia tidak akan ambil pusing untuk harus mempercayainya atau tidak.
“Aku belum  menikah. Jadi aku belum punya istri juga anak,” jelas Fajar dan mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
“Iya, iya, aku percaya, deh,”
“Kamu pasti nggak percaya,”
“Aku percaya, ” sahutnya makin masa bodoh.
Percakapan terhenti ketika keduanya mulai terlihat menyentuh makanan di atas nampan. Prastiwi mencicipi minumannya sebelum menggigit roti bulat bertumpuk dengan isi daging di dalamnya.
“Aku biasa memanggil teman-temanku, kakak kelasku, atau orang-orang yang usianya lebih tua di atasku dengan memanggil namanya saja,” kata Prastiwi di sela-sela kunyahan rotinya.
“Nggak masalah. Kamu boleh memanggilku Fajar saja. Kelihatannya lebih enakbegitu.Lebih akrab,” jawab Fajar.
Prastiwi tersenyum. “Makasih, sudah mentraktirku!” ucapnya dengan tulus.
“Aku akan mentraktirmu lagi kapan-kapan.”
“Oh, enggak. Kapan-kapan aku gantian yang akan mentraktirmu,”
“Gitu, ya? Kapan, ya, kita ketemu lagi? Boleh aku minta nomor handphone-mu? Aku akan menelponmu kalau aku sudah sampai ke sini.”
“Aku nggak punya handphone,” Prastiwi berkelit sambil mengangkat gelas untuk menutupi wajahnya.
“Nggak apa-apa. Nanti aku akan nanya Dewi berapa nomor handphone-mu,” tukasnya sama sekali nggak percaya.
“Aku pergi ke wartel setiap kali ingin menelpon Dewi. ”Prastiwi masih berusaha meyakinkannya.
“Baiklah,” Fajar mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Sebuah kartu nama. “Di sini ada nomorku yang bisa dihubungi. Tolong kabari aku kalau kamu ada di sini. Oke?”
Prastiwi mengambil kertas berkilat itu dengan enggan. Membacanya sekilas tulisan-tulisan di dalamnya sebelum memasukkan ke dalam tasnya. Ia ingin cepat pulang dan menelpon Dewi. Ia harus mengatakan hal-hal mengenai dirinya yang tidak boleh dia bocorkan  kepada Fajar.  Dan agaknya ia harus menyumpah Dewi agar benar-benar memegang pesannya.

Jumlah  ;  1.540 kata
Total      :  10.617

Jumat, 06 Januari 2012

7. Sang Diktator

"Cinta sejati antara laki-laki dan perempuan itu hanya ada pada cinta seorang bapak terhadap anak perempuannya. Yang lainnya itu gombal!"

Prastiwi ingat kalimat itu diucapkan bapaknya dengan nada menggeram. Begitu marahnya bapaknya ketika mendengar Prastiwi mengatakan bahwa dia sebenarnya sudah punya cowok yang disukainya. Cowok itu bernama Hendri. Hendri adalah pembina kegiatan pecinta alam di sekolahnya. Dia juga seorang mahasiswa semester akhir jurusan Tehnik Industri. Bapaknya tidak terlihat bergeming sama sekali  mendengar pangkat 'mahasiswa semeter akhir' yang ditekankan Prastiwi pada kata-katanya.
Tapi sayangnya hubungannya dengan Hendri tidak berjalan seperti yang dia harapkan. Entahlah, pada akhirnya memang Prastiwi mengakui bahwa dirinya mungkin  kegeeran dan salah menfsirkan perhatian Hendri kepadanya selama ini. Ia begitu bahagia tiap kali punya kesempatan bisa ngobrol berdua dengan Hendri. Hatinya berbunga-bunga dan serasa melambung hampir mencapai langit. namun suatu ketika ia dihadapkan kenyataan yang menghempaskan tubuhnya hingga berdebam ke tanah.  Peringatan Alita yang mengatakan bahwa ternyata Hendri punya pacar cewek yang sekampus dengannya mampu begitu saja ia tepiskan. Namun ketika matanya menyaksikan sendiri pemandangan menyakitkan itu hatinya hancur bagaikan kepingan kelopak bunga yang berserakan oleh hentakan angin besar. Terakhir kali Prastiwi mendengar kabar bahwa Hendri dan pacarnya yang bernama Alisa itu memang sudah bertunangan sejak beberapa bulan yang lalu. Mungkin dalam waktu dekat keduanya akan segera melangsungkan pernikahan.

6. Mbok Jum



Meski hubungannya dengan ibunya tidak seharmonis hubungan selayaknya ibu dan anak pada umumnya, namun Prastiwi tetap punya filling, apa ibunya berada di dalam rumah itu atau tidak.  Seperti sore itu ketika ia pulang dari kampus.  Ia merasa rumahnya lebih lengang dari biasanya. Pintunya tertutup rapat. Benar-benar seperti tak berpenghuni. Apa ibu pergi? Gumam hatinya.
Ia memasukkan motornya ke teras, lalu mencabut kuncinya. Ia meraba-raba sesuatu di dalam pot tanaman yang di gantung, tempat biasa ibunya atau mbok Jum menyimpan kunci rumah. Tidak ditemukan apa-apa di sana. Ia memutar hendel pintu. Ternyata pintunya nggak di kunci. Jika ibunya pergi, pintu rumah pasti dalam keadaan terkunci.  Rasa lega menyelinap dalam hatinya. Berarti ibunya ada di dalam. Sejak mengenal ibunya, ia selalu khawatir kalau tahu ibunya pergi ke tempat yang ia tidak tahu keberadaannya. Kecuali kepergiannya setiap hari ke sekolah untuk mengajar
 “Assalamu’alaikum,” ucapnya dengan maksud menyapa ibunya, sekedar memberitahu kepulangannya.  Meski tahu ibunya tidak akan menjawabnya, ia tak perduli. Ucapan salam adalah sebuah doa. Ia mendoakan ibunya agar selalu selamat. Namun jauh di lubuk hatinya ia yakin, sebagai seorang muslimah ibunya pasti selalu menjawab setiap ucapan salam. Nggak perduli hanya sekedar dalam hati. Karena itu hukumnya wajib.
Melewati kamar ibunya yang tertutup rapat, ia terus berjalan menuju kamarnya. Sepi. Tapi tidak benar-benar sepi. Telinganya mendengar samar sesuatu di belakang. Ibunya? Atau tikus, kecoa atau semacam serangga lainnya yang berkeliaran bebas ketika penghuni rumah berpaling dari dapur? Ia tidak memperdulikan.
Setelah menaruh tas dan mengganti baju, Prastiwi pergi ke kamar mandi. Pipis dan mencuci muka, kaki serta tangan. Bersamaan dengan ia membuka pintu kamar mandi terdengar samar suara seseorang memanggilnya. Setengah detik ia terperanjat menyadari suara ibunyalah yang memanggilnya. Ia deg-degan. Ibunya memanggilnya? Meski aneh, tapi itu seperti keajaiban.
“Mbak Tiwi,”
Oh, ternyata suara mbok Jum. Dan tubuh  singset yang dibalut  sewek (kain jarit) itu muncul dari ruang belakang sambil mengangkat tumpukan pakaian yang baru selesai di setrika. Rupanya ia baru selesai menyetrika.
“Mbok, belum pulang?” tanya Prartiwi masih kaget dan was-was.
“Sekalian tadi nyetrika, wong baju sudah pada kering,” sahutnya. Langkahnya menuju kamar tengah, kamar ibunya untuk meletakkan baju-baju milik ibunya.
Agak lama Prastiwi menunggu langkah kaki mbok Jum  sampai ke kamarnya. “Ibu ke mana, Mbok? Pergi, ya?” tanyanya hati-hati dan dengan nada pelan begitu perempuan setengah baya itu muncul di kamarnya.
“Iya, ke sarean (makam) Bapak tadi pamitnya,” jawab mbok Jum.
Gadis itu tercenung sesaat, lalu mengangguk-angguk.
“ini. Tadi ibu menitipkan ini.” Ia lalu mengulurkan sesuatu yang diambilnya dari dalam kutangnya kepada Prastiwi setelah meletakkan beberapa pakaian yang telah rapi di setrika itu ke atas meja.
Prastiwi tidak heran menerima amplop itu. Uang pasti isinya. Ibunya tidak berpesan apa-apa berkaitan dengan isi amplop itu. Tidak menulis sesuatu atau mengatakan hati-hati, atau hal-hal senada pesan seorang ibu kepada anaknya. Sudah jelas itu untuk bayaran kuliah.
Suwun (Trimakasih), Mbok!” ucapnya.
Perempuan itu hanya tersenyum seraya mengiyakan. Matanya menatap momongannya antara iba dan sayang. Ia tahu bagaimana perasaan anak gadis itu. Ia juga tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan ibunya. Masih dengan senyum tulus, tangannya yang mulai berkerut di bagian kulit lengannya itu mengelus bahu di hadapannya. Prastiwi menikmati sentuhan penuh sayang itu dengan rasa terima kasih.
Mbok Jum kadang lebih dari sekedar pembantu baginya. Ia bahkan   seperti Ibu baginya. Perhatian dan sayangnya begitu melimpah.  Di samping menesehati, tak jarang dia juga mengomeli atau memarahi, lebih dari ibunya ketika memarahi atau mengomelinya.
“Setelah mbak Tiwi menikah nanti, maka rumah ini akan lebih sepi lagi,”
Prastiwi tercengang mendengarnya. “Kenapa mbok Jum ngomong begitu?”
Dia menggeleng  lemah. “Lihat saja mbak Tari, begitu menikah, dia pergi mengikuti suaminya. Begitu juga dengan mbak Tiwi nantinya.”
“Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku masih akan kuliah. Setelah lulus kuliah, aku akan nyari kerja di sini. Aku belum mikir untuk menikah,” ujarnya heran.
“Tapi suatu saat seseorang akan datang melamar, lalu membawa mbak Tiwi begitu saja begitu kalian menikah.”
“Siapa,Mbok?” Prastiwi jadi pengin tertawa.
“Ya, laki-laki itu.”
“”Iya, laki-laki itu siapa?”
“Pacar mbak Tiwi tentu saja. Dia akan segera datang melamar....”
Prastiwi menghela nafas sedemikian rupa seraya berusaha menghentikan omongan ngelantur pembantunya. “Mbok Jum, tidak akan ada laki-laki manapun yang akan melamarku. Karena kupikir seseorang datang melamarku haruslah menghadap Ibu dan meminta doa restunya. Sementara Ibu rasanya tidak akan pernah merestui hubunganku dengan  laki-laki manapun,” Prastiwi tersenyum kecut.
“Suatu saat, Ibu pasti akan berhenti marah sama mbak Tiwi,” harapnya.
Prastiwi juga berharap sama seperti mbok Jum. Ia berharap keajaiban akan datang kepadanya. Kalau ada satu doa yang  akan dijamin terkabul, maka Prastiwi akan berdoa agar dia dan ibunya bisa berbaikan seperti dulu. Dia akan menukar doa-doa miliknya dengan permintaan satu hal, yaitu bisa berhubungan dengan ibunya sebagaimana hubungan normal seorang anak dengan ibunya. Ia begitu kangen saat-saat bisa ngobrol tentang banyak hal dengan ibunya. Ia juga kangen saat -saat berada di dapur bersama ibunya untuk membuat kue-kue lebaran, juga membuat ketupat dan sayur opor kesukaannya. Prastiwi sungguh ingin mendengar teguran ibunya, sekedar menyuruhnya mandi, menyuruhnya sarapan sebelum berangkat sekolah, melarangnya belajar hingga tengah malam, atau melarangnya naik gunung sekalipun. Ia sungguh kangen semua itu.
Setelah mbok Jum pulang, Prastiwi duduk di meja belajarnya. Ia pulang lebih cepat menjelang sore hari begitu karena ada sesuatu yang akan dikerjakannya di rumah. Tugas makalah dari dosennya harus segera diselesaikannya. Tapi begitu membuka komputer, ia ingat sesuatu terjadi dengan komputernya kemarin. Tiba-tiba mati begitu saja. Ia tidak akan membuang waktu dengan mengotak-atik kembali benda itu. Sudah berkali-kali ia bongkar kemarin, tetap ia tidak tahu di mana pangkal kerusakannya.
Cepat ia mengambil kertas untuk menulis konsep untuk makalahnya. Mau tidak mau kayaknya ia mesti ke warnet. Bisa saja ia ngetik dan ngeprint di rumah Arik, seperti yang sering dilakukannya sebelumnya. Di kampus tadi Arik juga mengajaknya untuk mnegerjakan tugas bersama. Tapi mengingat sikap Arik, mengingat gosip yang mulai tersendus ramai di sekretariat antara dirinya dengan Arik, ia tidak ingin mengambil resiko dengan mengorbankan harga dirinya untuk kepentingan pribadinya. Kalau Arik benar-benar menyukainya dan mengharapkan hubungan  lebih dari sekedar berteman dengannya, sementara Prastiwi tidak mungkin melakukan hal itu semata-mata karena kasihan atau sekedar menyenangkan hati Arik, untuk apa ia melakukan hal yang seharusnya tidak harus dilakukannya?
Ia menulis dan berkonsentrasi penuh selama hampir dua jam untuk mengerjakan tugasnya. Dan ia baru berhenti ketika handphone-nya berbunyi. Ia merogoh-rogoh tasnya dan mendapatkan benda kecil itu. Sebuah nama terbaca : Dewi.
‘Assalamu’alaikum,” serunya dengan girang. Dewi adalah salah satu sahabatnya waktu SMA. Dia tinggal di Jogja sekarang dan kuliah di sana. Dua sahabat lainnya yaitu Hanim dan Lita. Keduanya juga berpencar begitu lulus sekolah.Hanim ke Bandung dan Lita ke Australi.
Yo opo kabare, Rek ( Apa kabar, Teman)?sapa Dewi pula setelah menjawab salam. Lidah khas arek Malang-nya agak luntur juga setelah setahun tinggal di Jogja. Prastiwi tersenyum membayangkan sehari-hari temannya itu bergaul dan bicara dengan orang-orang lemah gemulai dan kemayu di tempat barunya.
“Baik.” Prastiwi menertawainya.
Setelah ngobrol ngalor ngidul  (panjang lebar) tentang keadaan masing-masing, Dewi tiba-tiba menanyakan seseorang yang katanya pernah mereka temui di sebuah restoran siap saji, tempat di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu dan nongkrong bareng-bareng.
“Jadi kamu selama ini sering ketemu sama Fajar?” tanyanya.
“Fajar? Fajar siapa?” tanyanya bingung.
“Fajar. Kamu ingat waktu kita terakhir ngumpul di KFC sehabis pegumuman kelulusan kita dulu? Nah, waktu itu kita kenalan sama orang bernama Fajar. Kita semua kenalan. Kamu benar nggak ingat, Pras? Tapi Fajar mengatakan katanya  sering bertemu kamu di KFC?”
Prastiwi terhenyak. Fajar? Oh, iya. Ia menepok dahinya. Jadi Fajar? Pantas saja dia mengatakan pernah melihatnya bersama teman-temannya sebelumnya.Ternyata dia? Pikirnya. Tapi kenapa ia tidak mengingat sedikitpun wajahnya saat mengingat pertemuan terakhir dengan para sahabatnya? Dimana Fajar saat itu? Duduk di mana dia waktu itu? Memakai baju apa? Dan apa yang mereka percakapkan waktu itu?
“Pras,” Dewi ternyata menunggunya.
“Iya, aku memang pernah bertemu orang bernama Fajar itu. Tapi hanya dua kali. Itupun karena nggak sengaja. Kemarin dia mengatakan katanya pernah bertemu denganku waktu bersama kalian, tapi aku nggak ngerti dan nggak ingat maksud omongannya itu. Baru setelah kamu cerita aku baru mudheng. Apa waktu kita di KFC dulu dia benar ada di sana, Dew?”
“Iya, Pras. Dan dia memberikan kartu nama. Karena nggak ada yang mau menyimpannya, maka aku mengambilnya dan menyimpannya. Tiba-tiba aku ingat kartu namanya itu dan kemarin aku mencoba menelponnya. He he he....”ia terkekeh sendiri.
“Terus?”
“Iya, dia ternyata masih ingat aku. Ingat kamu, Lita dan Hanim juga. Apa dia masih kelihatan keren kayak dulu, Pras?” Dewi ngakak lagi. Agak malu ia mengakuinya, bahwa dia mungkin agak naksir laki-laki itu.
“Iya, sih. Tapi....dia sudah tua, Dew. Apa kamu nggak ngeri membayangkan dia ternyata punya istri dan anak?”
“Apa kamu nggak tanya apa dia sudah punya pacar apa belum, Pras?”
Edan, kon (Gila kamu)!” makinya.
Dewi tertawa dan merasa gila dengan pertanyaannya.
“Tanya saja sendiri. Kamu kan punya nomor  telponnya? Eh, Dewi, ngomong-ngomong, kamu serius naksir orang itu?” tanya Prastiwi meyakinkan dengan nggak habis pikir.
Tawanya terdengar makin nyaring. "Entahlah, Pras, sebenarnya aku sudah punya pacar. Dan hubungan kami baik-baik saja."
"Ancene kurang penggawean (Dasar kurang kerjaan)!"
“Kamu ngobrol apa saja sama dia pas ketemu, Pras?” tanyanya lagi.
“Nggak ngobrol apa-apa. Aku benar-benar nggak ingat siapa dia. Dia menegurku dan mengatakan pernah bertemu denganku sebelumnya. Kamu tahu aku, kan? Aku paling takut ketemu orang yang baru kukenal?”
“Pras, apa kamu mau mencatat nomor telpon atau hp-nya?"
“Enggak, ah!”

* Jumlah  :  1.545 kata
* Total      :  7.793 kata