Jumat, 06 Januari 2012

7. Sang Diktator

"Cinta sejati antara laki-laki dan perempuan itu hanya ada pada cinta seorang bapak terhadap anak perempuannya. Yang lainnya itu gombal!"

Prastiwi ingat kalimat itu diucapkan bapaknya dengan nada menggeram. Begitu marahnya bapaknya ketika mendengar Prastiwi mengatakan bahwa dia sebenarnya sudah punya cowok yang disukainya. Cowok itu bernama Hendri. Hendri adalah pembina kegiatan pecinta alam di sekolahnya. Dia juga seorang mahasiswa semester akhir jurusan Tehnik Industri. Bapaknya tidak terlihat bergeming sama sekali  mendengar pangkat 'mahasiswa semeter akhir' yang ditekankan Prastiwi pada kata-katanya.
Tapi sayangnya hubungannya dengan Hendri tidak berjalan seperti yang dia harapkan. Entahlah, pada akhirnya memang Prastiwi mengakui bahwa dirinya mungkin  kegeeran dan salah menfsirkan perhatian Hendri kepadanya selama ini. Ia begitu bahagia tiap kali punya kesempatan bisa ngobrol berdua dengan Hendri. Hatinya berbunga-bunga dan serasa melambung hampir mencapai langit. namun suatu ketika ia dihadapkan kenyataan yang menghempaskan tubuhnya hingga berdebam ke tanah.  Peringatan Alita yang mengatakan bahwa ternyata Hendri punya pacar cewek yang sekampus dengannya mampu begitu saja ia tepiskan. Namun ketika matanya menyaksikan sendiri pemandangan menyakitkan itu hatinya hancur bagaikan kepingan kelopak bunga yang berserakan oleh hentakan angin besar. Terakhir kali Prastiwi mendengar kabar bahwa Hendri dan pacarnya yang bernama Alisa itu memang sudah bertunangan sejak beberapa bulan yang lalu. Mungkin dalam waktu dekat keduanya akan segera melangsungkan pernikahan.
Meski sempat patah hati namun Prastiwi berusaha tetap tegar menghadapi kenyataan pedih yang memenjarakan dirinya ke dalam gelap ruang pikirannya. Ia sadar sepenuhnya bahwa sebenarnya hubungannya dengan Hendri tidak bisa dikatakan sebagai hubungan istimewa, meski nyata-nyata ada banyak cewek yang  ngiri dengan kedekatannya dengan cowok tinggi  kekar itu.  Hendri hanya menganggapnya sebagai teman. Sebagai adik, mungkin malah. Dia tidak pernah menyatakan cinta, apalagi berjanji-janji dengan kata-kata muluk. Dia sedikitpun tidak pernah berusaha merayunya. Semua kenyataan itu dijadikan bahan introspeksi Prastiwi untuk dirinya sendiri.
Dan yang menjadi permasalahnnya adalah bagaimana ia menghadapi sorotan sinis penuh belas kasihan dari orang-orang yang waktu itu sempat ingin bersaing untuk memperebutkan Hendri. Karena bagaimanpun, kedekatan Hendri dan Prastiwi sudah menyebar santer ke penjuru sekolah. Untunglah ujian segera berakhir dan pengumuman kelulusan segera dilaksanakan. Ia hanya sesekali datang ke sekolah. Dan sahabat-sahabatnya adalah penghibur sekaligus penawar bagi luka di hatinya. Namun satu-persatu mereka akan segera pergi meninggalkannya. Prastiwi  tidak bisa mencegah kepergian mereka. Dan kepediahan yang paling besar sebenarnya yaitu kehilangan sahabat-sahabat seperti Hanim, Alita dan Dewi.
Di tengah kekalutan hatinya, bapaknya terus mendesaknya agar segera mendaftar kuliah Kedokteran. Dan pada waktu yang berlainan, bapaknya mulai memaksanya agar mau menemui laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu. Kepalanya serasa hampir pecah setiap kali mendengar pembicaraan bapaknya seputar perjodohan itu.
"Temui dulu orangnya. Kamu harus melihatnya seperti apa dia," 
Ketika bapaknya mendudukkannya, Prastiwi merasa sosok di hadapannya itu adalah seorang raja  lalim yang berhak melakukan apapun atas dirinya. Bahkan untuk membunuhnya sekalipun. Selama ini tidak ada yang bisa diperbuatnya selain mengangguk dan mengiyakan apapun kemauan Bapaknya. Meski dengan hati sakit dan merana. Prastiwi ingat kakaknya Budi dan Lestaripun mengalami hal yang sama dengannya. Lihat, mereka sekarang hidup enak dan bahagia. Itu semua karena mereka selalu patuh dan taat kepada orang tua. Begitu kata Bapaknya. Tapi benarkah? Apa mbak Tari benar-benar bahagia hidupnya dengan profesinya sekarang? Menjadi guru itu bukan cita-citanya. Sesungguhnya ia ingin kuliah di jurusan Hubungan Internasional. Ia ingin bisa pergi ke luar negri dengan profesinya dan latar belakang pendidikannya. Tapi mana Bapak tahu apa keinginan dan cita-cita anak-anaknya?
Dan sekarang dirinya yang menjadi target jiwa diktator bapaknya. Prastiwi menggeleng kuat. Ia tidak bisa  hidup terkungkung dengan ambisi Bapaknya yang akan mencetaknya menjadi dokter dan memaksanya menerima laki-laki yang bukan menjadi pilihannya. Tidak. Ia bisa menjadi apa saja yang ia mau. Tapi tidak untuk jadi seorang Dokter. Ia tidak mau hidup dalam keterpaksaan. Ia harus jadi orang bebas. Bebas bercita-cita. Bebas melangkah ke arah tujuan hidupnya. Bukankah masa depannya ada di tangannya sendiri? Itu kata bapaknya selalu.  Dan ia sudah terlanjur menggenggam prinsip hidup seperti yang selalu dicekokkan Bapaknya itu kepadanya. 
Pada akhirnya ia mengambil satu keputusan terberani dalam hidupnya. Ia mendaftar kuliah jurusan Tehnik Sipil. Ia tidak tahu akan ke mana dirinya nanti dengan bekal kuliah jurusan yang sama sekali nggak terpikirkan olehnya sebelumnya. Tapi bukankah dia diberkahi pikiran yang cerdas oleh Allah sehingga ilmu serumit apapun akan sanggup ia tangkap dan ia masukkan ke dalam otaknya? Ia tidak tahu kenapa ia memilih jurusan itu. Mungkin karena ia ingin menunjukkan pada Bapaknya dan pada siapapun, bahwa ia mampu menembus jurusan kuliah di manapun tempatnya. Alasan yang kedua adalah karena setidaknya ia tidak akan mematuhi kemauan bapaknya, sekaligus tidak menepati pula keinginan hatinya sendiri untuk masuk di IKIP. Jadi adil kan?
Ia siap jadi pemberontak. Ia siap dicap sebagai anak durhaka karena tidak melaksanakan perintah bapaknya. Segala apa yang diputuskan dan dilakukannya saat ini akan berbuah bencana pada dirinya. Entah apa ia sudah memikirkan semua akibat yang bakal diterimanya nantinya.
Paakkk! Sebuah tamparan keras hinggap di wajahnya. Prastiwi kaget bukan main. Begitu cepatnya tangan bapaknya melayang dan hinggap di pipinya. Saking kerasnya pukulan itu sampai tubuh kecilnya terhuyung ke belakang dan menimpa sandaran kursi. Sedikitpun ia tak menyangka  bapaknya akan menjatuhkan pukulan dengan tangannya. Ia bangun perlahan sambil memegangi pipinya yang terdapat gurat memerah. Sambil menahan air matanya agar tidak jatuh keluar ia berdiri tegak, menatap bapaknya dengan hati sakit sesaat, lalu melangkah cepat menuju kamarnya.
Laki-laki itu tertegun dan begitu sadar dengan apa yang barusan dilakukannya terhadap anak kesayangannya, ia nampak begitu syok. Ia menatap tangannya yang gemetar menahan guncangan penyesalan yang seolah meremukkan hati dan seluruh sendi dalam tubuhnya. Begitu berat tubuhnya menahan gumpalan sesal dan amarah, hingga akhirnya tubuh besar itupun terkulai tak berdaya dan jatuh ke lantai.
Di kamarnya, Prastiwi meratapi perlakuan kejam bapaknya. sambil tersedu di tempat tidur. namun sejenak ia mendengar jeritan  ibunya di ruang tengah. Jeritan itu mengandung tangis dan teriakan minta tolong. Ia bangkit  segera dan keluar kamar. Di  ruang tengah ia sudah mendapati beberapa tetangga yang datang dan menggotong tubuh bapaknya ke luar melewati pintu depan.
Prastiwi tercekat. Ia bingung bukan main ketika hendak mengikuti orang-orang menuju pintu depan.   Ada apa? Ada apa? Tanya hatinya kalut. Bapaknya. Ia tahu terjadi sesuatu pada Bapaknya. Tapi kenapa Bapaknya? Sakitnya akibat gamparan tangan bapaknya hilang seketika berganti dengan katakutan dan kecemasan yang merenggut seluruh perasaannya.
Seseorang melambainya, lalu ada yang menuntunnya menuju mobil tetangga yang sudah disiapkan mengangkut bapaknya ke rumah sakit. Ibunya terlihat menangis tersedu-sedu sambil memegangi tangan bapaknya. dan mengusap-usap wajah keras yang seolah masih menyimpan kemurkaan itu. Prastiwi diam mematung dan segera memalingkan wajahnya ke arah luar kaca mobil yang membawanya. Ingin ia bisa menangis, namun air matanya tak mau keluar. Ia hanya murung, bingung dan sedih tak terkira.
Lamat-lamat terbayang dalam benaknya kejadian di mana ia baru pulang dari gunung Arjuno. Kepergiannya naik gunung sengaja ia lakukan untuk menghindari acara pertemuan dengan calon laki-laki yang hendak dijodohkan dengannya. Beberapa kali Bapaknya berpesan agar dia tidak pergi ke manapun. dalam beberapa hari ke depan.  Dan ibunya mensehatinya agar merawat wajahnya yang sering berjerawat, merapikan rambutnya dan mengenakan pakaian rapi pada saat tamunya nanti datang. Tapi Prastiwi sengaja pergi. sehari sebelum rombongan tamu itu datang. Ia hanya berpesan pada mbok Jum tentang kepergiannya. Berkali-kali pembantu itu menahannya, namun Prastiwi nekad pergi.
Ia tahu seperti apa kemarahan bapaknya. Ibunya bahkan sampai nggak bisa ngomong saking  geregetan dengan sikap keterlaluannya itu. Mereka tentunya sangat kecewa dengan apa yang dilakukannya. Tapi Prastiwi tak punya pilihan lagi. Ia sudah berkali-kali mengatakan bahwa ia nggak mau dijodohkan, tapi bapaknya nggak mau mendengarkannya.  Bapaknya nggak bisa memaksakan kehendaknya begitu, sekalipun pada anak-anaknya. Sekalipun menurutnya itu hal terbaik yang bisa dilakukan demi kebaikan anak-anaknya. 

Selama dua hari Bapaknya berada di rumah sakit. Setelah itu dokter mengijinkan bapaknya istirahat di rumah. Tidak ada percakapan mengenai kejadian yang terjadi sebelumnya. Prastiwi seperti biasa membuatkan teh dan membawanya ke kamar bapaknya. Setelah meletakkan teh di meja, Prastiwi menanyakan kalau-kalau Bapaknya mau ia mengambilkan sesuatu. Koran, kaca mata, Al Qur'an, buku-buku bacaan atau apa saja. Namun bapaknya hanya menggeleng lemah. Selebihnya hanya menatap anak gadis kesayangannya itu dengan tatapannya yang sayu. Prastiwi memberanikan diri duduk mendekat di pinggir tempat tidur. Tidak ada sepatah katapun yang dikatakan Bapaknya. Tangan yang mulai renta itu terulur mengusap telapak hingga punggung tangan Prastiwi. Menggenggamnaya beberapa  saat lalu melepaskannya.


* Jumlah  : 1.384
*  Total    : 9.077

Tidak ada komentar:

Posting Komentar