Selasa, 17 Januari 2012

9. Perasaan indah yang menyiksa


Rapat siang itu selesai dalam waktu sekitar dua jam. Ruang sekretariat yang semula tenang dan hanya satu dua orang yang bicara dengan rupa formal, saat ini seperti pasar tumpah.  Dalam waktu sekejap semua telah berubah. Gaduh, ribut juga penuh gelak tawa di sana sini. Beberapa orang yang masih nampak berdiskusi di dalam ruangan itu terlihat seolah-olah hanya menggerak-gerakkan bibir, kepala dan tangan saja ketika sedang berbicara. Suara mereka tenggelam dalam hiruk pikuk aneka coleteh atau seruan lantang di sekitar mereka.

Prastiwi masih tak beringsut dari kursinya. Sedikitpun tidak terbawa oleh suasana ramai itu. Ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan mulai tenggelam dalam dunianya. Matanya memandangi tulisan, namun ia sedang tidak membaca. Pandangannya sesungguhnya menerawang dan melamun. Telinganya juga tidak sedang meradang oleh keributan. Ia sedang tidak mendengar suara apapun selain kata-kata sang Ketua Umum yang masih terngiang-ngiang seperti saat dalam rapat tadi ketika menyatakan keputusan finalnya bahwa utusan untuk pelatihan SAR tingkat nasional dipilih Arik dan Prastiwi.
Kepalanya tergeleng lemah dan desah panjangnya mewakili keluhan yang serasa menyesak dalam dadanya dan sulit sekali ketika hendak ia keluarkan. Ia tidak mau berangkat bersama Arik. Tapi bagaimana ia mengatakan pada Alba? Alasan apa yang akan ia kemukakan untuk menolak penunjukan atas dirinya itu? Ia akan mundur. Atau Arik digantikan dengan orang lain. Tapi apa bisa? Rasanya mustahil.
“Hei, Pras!”
Gadis itu terhenyak.  Arik sudah berdiri di hadapannya. Dikerjapkan matanya untuk menyingkirkan pikiran-pikiran di dalam otaknya. Ia berusaha tersenyum kecil menyambutnya, “Hei, Rik!”
“Kamu baca apa?”
Ia menyodorkan buku catatan kuliah ketika cowok itu mendekat ke arah sisi tempat duduknya dan duduk di sebelahnya. “Oh, kuliah Ilmu Ukur Tanah?”
Diseretnya kembali bukunya menuju di hadapannya. Dan Prastiwi menatap kembali tulisan dalam bukunya tanpa berusaha untuk sungguh-sungguh membacanya, apalagi memahami apa isinya.
“Kamu kenapa, sih?” gumam Arik heran sesaat kemudian.
“Kenapa?” Prastiwi bertanya pula sambil menoleh. Cowok itu tengah menatapnya dengan tatapan yang sendu bercampur curiga.
“Kamu selalu diam dan  melamun. Apa kamu sedang punya masalah?”
 “Ah, enggak, kok?” kilahnya
“Kamu jangan bohong!”
“Aku hanya pusing  mikir tugas kuliah yang seabrek-abrek. Mana komputerku rusak.” Ia menemukan jawaban itu sambil benar-benar mengeluh.
“Masih belum jadi diservis?”
“Sudah, tapi nggak tahu, error lagi, error lagi,”
“Ya, bawa lagi ke tukang servisnya!”
“Males. Biar saja, lah. Mungkin memang sudah nggak bisa dipakai lagi. Komputerku itu sudah model kuno.”
“Dari kemarin aku sudah ngomong, mbikin tugas ke tempatku saja kenapa, sih?”
“Nggak usah, Rik, aku ke warnet saja,” tolaknya.
Mungkin Arik belum menyadarinya bahwa Prastiwi sudah berpikir untuk menjaga jarak mulai sekarang-sekarang ini. Kalau tidak dalam keadaan memaksa ia tak kan lagi terlihat runtang-runtung bersama cowok itu. Ketika usai kuliah, ia akan selalu cepat menyelinap keluar lebih dulu. Kalau sebelumnya dia dan Arik selalu keluar bersama-sama dan tiba di sekretariat sebagai mana layaknya pasangan sejoli, tapi dalam beberapa hari ini mereka terlihat berjalan sendiri-sendiri. Agaknya belum ada yang menyadarinya. Maka Prastiwi nampak tenang-tenang saja.
“Kenapa sih Pras kamu ini?”
Namun suatu ketika teguran itu datang menghampirinya, bahkan kembali menginterogasinya. Prastiwi mengerutkan dahi, pura-pura nggak ngerti arah, tujuan,  dan maksud dari pertanyaan itu.
“Kamu sengaja mau menyiksa Arik. Ya, kan?” tuduh Yessi.
“Apa?”
“Alaa, nggak usah pura-pura nggak tahu. Kamu menghindari  Arik maksudmu apa? Ayo jawab!” tanya Sabrina pula mulai geregetan.
“Aku ingin membuktikan bahwa gosip yang beredar tentang aku dan Arik itu nggak benar. Kami benar-benar nggak ada hubungan apa-apa selain teman.” Jawab Prastiwi.
“Gila kamu, Pras! Kamu tahu bagaimana perasaan Arik terhadap kamu, kan?”
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Tolong kalian jangan melebih-lebihkan masalah itu. Banyak cewek yang naksir Arik. Mereka lebih cantik, lebih seksi, lebih hebat ketimbang aku. Dia bisa memilih satu dari mereka. Lagi pula kenapa harus aku, sih? ”
“Memangnya kenapa kalau dia lebih milih kamu ketimbang mereka? Arik mencintaimu, Pras. Dia bisa bunuh diri kalau kamu sampai meninggalkannya. Kamu tahu, nggak, dia bisa saja kuliah ke luar negri. Tapi dia memilih kuliah di sini. Itu semata-mata karena dia pengin dekat dengan kamu. Dia ingin bersamamu!”
Prastiwi nyaris tertawa menanggapi kata-kata Sabrina yang agak berlebihan dan menyerupai sebuah  serentetan tembakan. Bunuh diri? Arik akan bunurh diri? Kira-kira dengan cara apa dia akan bunuh diri? Menggantung lehernya? Memotong urat nadinya? Atau menabrakkan dirinya di jalan raya yang penuh kendaraan? Benar-benar keduanya itu pengin membuat status mereka yang semula tukang gosip bisa berubah menjadi mak comblang sejati.  
Tapi bisa saja terjadi kalau Arik memang mau mengakhiri hidupnya selama dia terus ikut-ikutan mabuk setiap hari dengan anak-anak gebleg di sekretariat. Dan Prastiwi nggak akan perduli dengan apa yang dilakukannya. Ia sudah pernah menegurnya. Tapi Arik selalu ngeles dan membantah bahwa dirinya nggak ikut minum-minum. Padahal ia mendengar  laporan  dari seseorang,  Arik memang ikut minum, bahkan mabuk. Dan alasan kebiasaan buruk yan dimiliki Arik itu yang akan dimanfaatkan Prastiwi untuk mulai menjauhinya.
Hari Sabtu lalu Prastiwi sudah  akan berangkat ke Panderman. Tapi begitu ia tahu Arik ada bersama rombongan itu, ia akhirnya memutuskan tidak jadi ikut. Betapa kesalnya Yessi dan Sabrina. Prastiwi ingat, di manapun ia berada, setiap kali Arik mendekatinya, semua orang akan menjauhi keduanya. Untuk itulah ia mengambil sikap untuk tidak ikut bersama mereka.
Begitupun ketika suatu kali Sabrina mengajaknya menghadiri kegiatan Pendidikan Latihan Dasar lapangan yang diadakan oleh anak-anak pecinta alam sekolah menengah di daerah Pagak. Ia sudah ingin berangkat. Namun niatnya mendadak surut manakala tahu mereka berangkat dengan mobil Jeep milik Arik. Dan rencana mereka hanya berempat yang berangkat. Alba, Sabrina, Arik dan Prastiwi. Prastiwi sudah bisa menebak, Alba dan Sabrina sengaja membuat rencana agar dia dan Arik bisa berduaan nantinya.
Benar-benar sesuatu yang tidak mampu ia tampung di dalam ruang pikirannya. Ia pacaran dengan Arik? Hanya kalau kehidupannya hanya sebatas di ruang sekretariat, tentu hal itu menjadi sesuatu yang menyenangkan dan membanggakan. Tapi ia tinggal bersama ibunya. Rumah tinggalnya yang kecil dan sederhana tidak akan sepadan dengan rumah di komplek perumahan mewah milik Arik. Dan ibunya? Oh, tidak. Prastiwi tidak bisa membayangkan ia akan membawa cowok gondrong yang punya bekas tindik di telinganya itu di hadapan ibunya. Ibunya bisa sakit parah melebihi bapaknya dulu. Dan satu hal. Seingat Prastiwi ia tidak pernah tertarik berhubungan dengan cowok yang seumuran dengannya seperti halnya Arik atau Abdila. Kalaupun ia tergila-gila, pastilah cowok itu lebih tua beberapa tahun di atasnya. Seperti halnya Hendri, pembina kegiatan pecinta alam di sekolahnya dulu, atau Fajar. Fajar, laki-laki yang ditemuinya di restoran siap saji.

***

“Fajar, memangnya kamu umurnya berapa?”
“Tiga puluh delapan.”
Ha? Tiga puluh delapan? Prastiwi tergagap mendengar angka itu. Ia tidak ingin percaya, tapi itu yang dikatakan Fajar.
“Kalau kamu?” tanya Fajar kemudian.
“Aku? Sembilan belas,” jawabnya. Sebenarnya baru delapan belas. Tiga bulan lagi ia baru menginjak sembilan belas.
“Kamu masih muda sekali,”  gumamnya menatap wajah belia itu.
Prastiwi mengingat pertemuan  di restoran sore itu. Ia sudah berada di tempat parkir dan merasa ragu ketika hendak masuk ke dalam restoran. Apa Fajar sudah berada di dalam sana? Ia begitu gelisah ketika memikirkan kenapa ia harus memenuhi permintaan Fajar agar bersedia bertemu lagi setelah pertemuan mereka kemarin itu? Untuk apa ia harus menemuinya kembali? Hanya untuk sebuah pertemanan? Pertemanan model apa? Kalau memang hanya benar-benar mengharapkan pertemanan, kenapa ia sangat tidak sabar menunggu dosen mengkhiri perkuliahan di kelasnya dan ia juga begitu gelisah menunggu saat-saat di mana ia akan pergi menemuinya?
Pertemanan yang wajar hanyalah terjalin seperti halnya pertemanannya dengan teman-teman kuliahnya. Tapi pertemanannya dengan Fajar? Prastiwi sadar sepenuhnya. Ia menghadapi  pertemanan yang tak wajar dengan laki-laki itu. Usia mereka berselisih jauh. Dan hubungan mereka sama sekali bukan terkait saudara atau kerabat.  Pertemuan merekapun begitu ganjil karena selalu bertemu di tempat umum di tengah keramaian orang, sehingga sulit orang membedakan apa mereka adalah pasangan yang baru kenal dan bertemu dengan tidak sengaja atau pasangan yang memang memiliki hubungan cinta.
Sebuah mobil licin dan mengkilat melintas di dekatnya, kemudian berhenti dalam jarak beberapa meter darinya.  Prastiwi merasakan getar pada sekujur tubuhnya begitu mengenali seseorang yang keluar dari dalamnya. Fajar?  Apa benar ia menaiki mobil semewah itu? Tanya hatinya dengan heran dan ragu. Di dekat pintu mobilnya, laki-laki itu melepas jas serta dasinya. Dan begitu terlihat kemeja biru yang waktu lalu pernah dikenakannya, Prastiwi baru sangat yakin mengenalnya. Dia benar-benar Fajar. Tidak lain.
Fajar meninggalkan mobilnya dan melangkah menuju pintu restoran. Dalam jarak beberapa langkah, ia dihadang seorang perempuan renta yang berjalan membungkuk sambil menadahkan tangannya. Fajar mengambil dompet lalu mencabut selembar uang kertas dan diulurkan kepada pengemis itu. Sambil membungkuk-bungkuk penuh rasa terima kasih, dia beranjak pergi.
“Kenapa kamu belum menikah?” tanya Prastiwi hati-hati waktu itu. Tiba-tiba saja pertanyaan itu menyembul di pikirannya. Dan ia tak tahan untuk tidak melontarkannya. “Bukankah orang sepertimu seharusnya sudah menikah dan punyaanak?” tambahnya.
“Karena belum ketemu jodoh,” jawabnya  enteng.
“Apa karena patah hati ?” tanyanya lagi.
“Oh, enggak.”
“Jadi...kamu benar belum menikah?” gadis itu terkekeh pelan.
 “Iya. Demi Allah, aku belum menikah,” ucapnya sambil menatap wajah bundar itu dengan sungguh-sungguh.
Merinding Prastiwi mendengar lelaki itu bersumpah atas nama Tuhan. Ia hanya sengaja ingin bercanda tapi Fajar menanggapinya dengan serius.
“Iya, iya, aku percaya,” sahutnya buru-buru.
“Kalau kamu nggak percaya, kamu boleh datang ke rumahku. Aku hanya tinggal berdua dengan mamaku. Tidak ada siapa-siapa lagi di rumahku. Hanya aku dan mamaku.”
“Jangan marah, Fajar. Aku tadi hanya bercanda, kok.”
Fajar tersenyum kalem menanggapi ucapannya.
Ada yang dirasakan Prastiwi setelah pertemuannya dengan Fajar beberapa hari yang lalu. Ia selalu merasa gelisah dan suka menyendiri. Di sekretariat ia seringkali terlihat melamun. Sifatnya yang semula memang  agak pendiam dibandingkan anak-anak yang lainnya, kini makin pendiam. Di kelas ia susah sekali konsentrasi dengan mata kuliah yang diajarkan dosen. Kapanpun dan di manapun ia berada, selalu Fajar yang membayang di matanya. Beberapa kali ia mengambil kartu nama dengan kertas mengkilat berwarna abu-abu itu dari dalam tasnya. Betapa ingin ia menelpon laki-laki itu. Tapi  setiap kali hatinya menahan niatnya itu.
Entah apa maksud  Fajar ketika menginginkan mereka bertemu waktu itu. Prastiwi tidak mampu menebak dengan pikiran polosnya, kecuali berpikir tentang niat pertemanan Fajar yang tulus murni. Dia orang baik-baik. Begitu Prastiwi memberi penilaian sejauh ini. Sederhana, kalem, ramah, sopan serta tidak jelalatan ketika melihat cewek lewat di dekatnya. Sangat jauh dari bayangan Prastiwi tentang laki-laki om-om hidung belang yang suka mencari mangsa gadis remaja seusianya.
Apa Fajar akan menyukainya sebagaimana harapannya? Oh, entahlah. Lagi pula mana mungkin, sih? Pikirannnya makin galau mengingat Fajar dengan segala kelebihan yang dimilikinya adalah laki-laki matang, dewasa, mapan, dan sangat menarik. Apa mungkin ia akan menyukai dirinya yang hanya seadanya dan tidak punya sesuatu yang bisa  dibanggakan begitu? (Bersambung)

Jumlah  :  1.728
Total      :  12.345




Tidak ada komentar:

Posting Komentar