Jumat, 06 Januari 2012

6. Mbok Jum



Meski hubungannya dengan ibunya tidak seharmonis hubungan selayaknya ibu dan anak pada umumnya, namun Prastiwi tetap punya filling, apa ibunya berada di dalam rumah itu atau tidak.  Seperti sore itu ketika ia pulang dari kampus.  Ia merasa rumahnya lebih lengang dari biasanya. Pintunya tertutup rapat. Benar-benar seperti tak berpenghuni. Apa ibu pergi? Gumam hatinya.
Ia memasukkan motornya ke teras, lalu mencabut kuncinya. Ia meraba-raba sesuatu di dalam pot tanaman yang di gantung, tempat biasa ibunya atau mbok Jum menyimpan kunci rumah. Tidak ditemukan apa-apa di sana. Ia memutar hendel pintu. Ternyata pintunya nggak di kunci. Jika ibunya pergi, pintu rumah pasti dalam keadaan terkunci.  Rasa lega menyelinap dalam hatinya. Berarti ibunya ada di dalam. Sejak mengenal ibunya, ia selalu khawatir kalau tahu ibunya pergi ke tempat yang ia tidak tahu keberadaannya. Kecuali kepergiannya setiap hari ke sekolah untuk mengajar
 “Assalamu’alaikum,” ucapnya dengan maksud menyapa ibunya, sekedar memberitahu kepulangannya.  Meski tahu ibunya tidak akan menjawabnya, ia tak perduli. Ucapan salam adalah sebuah doa. Ia mendoakan ibunya agar selalu selamat. Namun jauh di lubuk hatinya ia yakin, sebagai seorang muslimah ibunya pasti selalu menjawab setiap ucapan salam. Nggak perduli hanya sekedar dalam hati. Karena itu hukumnya wajib.
Melewati kamar ibunya yang tertutup rapat, ia terus berjalan menuju kamarnya. Sepi. Tapi tidak benar-benar sepi. Telinganya mendengar samar sesuatu di belakang. Ibunya? Atau tikus, kecoa atau semacam serangga lainnya yang berkeliaran bebas ketika penghuni rumah berpaling dari dapur? Ia tidak memperdulikan.
Setelah menaruh tas dan mengganti baju, Prastiwi pergi ke kamar mandi. Pipis dan mencuci muka, kaki serta tangan. Bersamaan dengan ia membuka pintu kamar mandi terdengar samar suara seseorang memanggilnya. Setengah detik ia terperanjat menyadari suara ibunyalah yang memanggilnya. Ia deg-degan. Ibunya memanggilnya? Meski aneh, tapi itu seperti keajaiban.
“Mbak Tiwi,”
Oh, ternyata suara mbok Jum. Dan tubuh  singset yang dibalut  sewek (kain jarit) itu muncul dari ruang belakang sambil mengangkat tumpukan pakaian yang baru selesai di setrika. Rupanya ia baru selesai menyetrika.
“Mbok, belum pulang?” tanya Prartiwi masih kaget dan was-was.
“Sekalian tadi nyetrika, wong baju sudah pada kering,” sahutnya. Langkahnya menuju kamar tengah, kamar ibunya untuk meletakkan baju-baju milik ibunya.
Agak lama Prastiwi menunggu langkah kaki mbok Jum  sampai ke kamarnya. “Ibu ke mana, Mbok? Pergi, ya?” tanyanya hati-hati dan dengan nada pelan begitu perempuan setengah baya itu muncul di kamarnya.
“Iya, ke sarean (makam) Bapak tadi pamitnya,” jawab mbok Jum.
Gadis itu tercenung sesaat, lalu mengangguk-angguk.
“ini. Tadi ibu menitipkan ini.” Ia lalu mengulurkan sesuatu yang diambilnya dari dalam kutangnya kepada Prastiwi setelah meletakkan beberapa pakaian yang telah rapi di setrika itu ke atas meja.
Prastiwi tidak heran menerima amplop itu. Uang pasti isinya. Ibunya tidak berpesan apa-apa berkaitan dengan isi amplop itu. Tidak menulis sesuatu atau mengatakan hati-hati, atau hal-hal senada pesan seorang ibu kepada anaknya. Sudah jelas itu untuk bayaran kuliah.
Suwun (Trimakasih), Mbok!” ucapnya.
Perempuan itu hanya tersenyum seraya mengiyakan. Matanya menatap momongannya antara iba dan sayang. Ia tahu bagaimana perasaan anak gadis itu. Ia juga tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan ibunya. Masih dengan senyum tulus, tangannya yang mulai berkerut di bagian kulit lengannya itu mengelus bahu di hadapannya. Prastiwi menikmati sentuhan penuh sayang itu dengan rasa terima kasih.
Mbok Jum kadang lebih dari sekedar pembantu baginya. Ia bahkan   seperti Ibu baginya. Perhatian dan sayangnya begitu melimpah.  Di samping menesehati, tak jarang dia juga mengomeli atau memarahi, lebih dari ibunya ketika memarahi atau mengomelinya.
“Setelah mbak Tiwi menikah nanti, maka rumah ini akan lebih sepi lagi,”
Prastiwi tercengang mendengarnya. “Kenapa mbok Jum ngomong begitu?”
Dia menggeleng  lemah. “Lihat saja mbak Tari, begitu menikah, dia pergi mengikuti suaminya. Begitu juga dengan mbak Tiwi nantinya.”
“Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku masih akan kuliah. Setelah lulus kuliah, aku akan nyari kerja di sini. Aku belum mikir untuk menikah,” ujarnya heran.
“Tapi suatu saat seseorang akan datang melamar, lalu membawa mbak Tiwi begitu saja begitu kalian menikah.”
“Siapa,Mbok?” Prastiwi jadi pengin tertawa.
“Ya, laki-laki itu.”
“”Iya, laki-laki itu siapa?”
“Pacar mbak Tiwi tentu saja. Dia akan segera datang melamar....”
Prastiwi menghela nafas sedemikian rupa seraya berusaha menghentikan omongan ngelantur pembantunya. “Mbok Jum, tidak akan ada laki-laki manapun yang akan melamarku. Karena kupikir seseorang datang melamarku haruslah menghadap Ibu dan meminta doa restunya. Sementara Ibu rasanya tidak akan pernah merestui hubunganku dengan  laki-laki manapun,” Prastiwi tersenyum kecut.
“Suatu saat, Ibu pasti akan berhenti marah sama mbak Tiwi,” harapnya.
Prastiwi juga berharap sama seperti mbok Jum. Ia berharap keajaiban akan datang kepadanya. Kalau ada satu doa yang  akan dijamin terkabul, maka Prastiwi akan berdoa agar dia dan ibunya bisa berbaikan seperti dulu. Dia akan menukar doa-doa miliknya dengan permintaan satu hal, yaitu bisa berhubungan dengan ibunya sebagaimana hubungan normal seorang anak dengan ibunya. Ia begitu kangen saat-saat bisa ngobrol tentang banyak hal dengan ibunya. Ia juga kangen saat -saat berada di dapur bersama ibunya untuk membuat kue-kue lebaran, juga membuat ketupat dan sayur opor kesukaannya. Prastiwi sungguh ingin mendengar teguran ibunya, sekedar menyuruhnya mandi, menyuruhnya sarapan sebelum berangkat sekolah, melarangnya belajar hingga tengah malam, atau melarangnya naik gunung sekalipun. Ia sungguh kangen semua itu.
Setelah mbok Jum pulang, Prastiwi duduk di meja belajarnya. Ia pulang lebih cepat menjelang sore hari begitu karena ada sesuatu yang akan dikerjakannya di rumah. Tugas makalah dari dosennya harus segera diselesaikannya. Tapi begitu membuka komputer, ia ingat sesuatu terjadi dengan komputernya kemarin. Tiba-tiba mati begitu saja. Ia tidak akan membuang waktu dengan mengotak-atik kembali benda itu. Sudah berkali-kali ia bongkar kemarin, tetap ia tidak tahu di mana pangkal kerusakannya.
Cepat ia mengambil kertas untuk menulis konsep untuk makalahnya. Mau tidak mau kayaknya ia mesti ke warnet. Bisa saja ia ngetik dan ngeprint di rumah Arik, seperti yang sering dilakukannya sebelumnya. Di kampus tadi Arik juga mengajaknya untuk mnegerjakan tugas bersama. Tapi mengingat sikap Arik, mengingat gosip yang mulai tersendus ramai di sekretariat antara dirinya dengan Arik, ia tidak ingin mengambil resiko dengan mengorbankan harga dirinya untuk kepentingan pribadinya. Kalau Arik benar-benar menyukainya dan mengharapkan hubungan  lebih dari sekedar berteman dengannya, sementara Prastiwi tidak mungkin melakukan hal itu semata-mata karena kasihan atau sekedar menyenangkan hati Arik, untuk apa ia melakukan hal yang seharusnya tidak harus dilakukannya?
Ia menulis dan berkonsentrasi penuh selama hampir dua jam untuk mengerjakan tugasnya. Dan ia baru berhenti ketika handphone-nya berbunyi. Ia merogoh-rogoh tasnya dan mendapatkan benda kecil itu. Sebuah nama terbaca : Dewi.
‘Assalamu’alaikum,” serunya dengan girang. Dewi adalah salah satu sahabatnya waktu SMA. Dia tinggal di Jogja sekarang dan kuliah di sana. Dua sahabat lainnya yaitu Hanim dan Lita. Keduanya juga berpencar begitu lulus sekolah.Hanim ke Bandung dan Lita ke Australi.
Yo opo kabare, Rek ( Apa kabar, Teman)?sapa Dewi pula setelah menjawab salam. Lidah khas arek Malang-nya agak luntur juga setelah setahun tinggal di Jogja. Prastiwi tersenyum membayangkan sehari-hari temannya itu bergaul dan bicara dengan orang-orang lemah gemulai dan kemayu di tempat barunya.
“Baik.” Prastiwi menertawainya.
Setelah ngobrol ngalor ngidul  (panjang lebar) tentang keadaan masing-masing, Dewi tiba-tiba menanyakan seseorang yang katanya pernah mereka temui di sebuah restoran siap saji, tempat di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu dan nongkrong bareng-bareng.
“Jadi kamu selama ini sering ketemu sama Fajar?” tanyanya.
“Fajar? Fajar siapa?” tanyanya bingung.
“Fajar. Kamu ingat waktu kita terakhir ngumpul di KFC sehabis pegumuman kelulusan kita dulu? Nah, waktu itu kita kenalan sama orang bernama Fajar. Kita semua kenalan. Kamu benar nggak ingat, Pras? Tapi Fajar mengatakan katanya  sering bertemu kamu di KFC?”
Prastiwi terhenyak. Fajar? Oh, iya. Ia menepok dahinya. Jadi Fajar? Pantas saja dia mengatakan pernah melihatnya bersama teman-temannya sebelumnya.Ternyata dia? Pikirnya. Tapi kenapa ia tidak mengingat sedikitpun wajahnya saat mengingat pertemuan terakhir dengan para sahabatnya? Dimana Fajar saat itu? Duduk di mana dia waktu itu? Memakai baju apa? Dan apa yang mereka percakapkan waktu itu?
“Pras,” Dewi ternyata menunggunya.
“Iya, aku memang pernah bertemu orang bernama Fajar itu. Tapi hanya dua kali. Itupun karena nggak sengaja. Kemarin dia mengatakan katanya pernah bertemu denganku waktu bersama kalian, tapi aku nggak ngerti dan nggak ingat maksud omongannya itu. Baru setelah kamu cerita aku baru mudheng. Apa waktu kita di KFC dulu dia benar ada di sana, Dew?”
“Iya, Pras. Dan dia memberikan kartu nama. Karena nggak ada yang mau menyimpannya, maka aku mengambilnya dan menyimpannya. Tiba-tiba aku ingat kartu namanya itu dan kemarin aku mencoba menelponnya. He he he....”ia terkekeh sendiri.
“Terus?”
“Iya, dia ternyata masih ingat aku. Ingat kamu, Lita dan Hanim juga. Apa dia masih kelihatan keren kayak dulu, Pras?” Dewi ngakak lagi. Agak malu ia mengakuinya, bahwa dia mungkin agak naksir laki-laki itu.
“Iya, sih. Tapi....dia sudah tua, Dew. Apa kamu nggak ngeri membayangkan dia ternyata punya istri dan anak?”
“Apa kamu nggak tanya apa dia sudah punya pacar apa belum, Pras?”
Edan, kon (Gila kamu)!” makinya.
Dewi tertawa dan merasa gila dengan pertanyaannya.
“Tanya saja sendiri. Kamu kan punya nomor  telponnya? Eh, Dewi, ngomong-ngomong, kamu serius naksir orang itu?” tanya Prastiwi meyakinkan dengan nggak habis pikir.
Tawanya terdengar makin nyaring. "Entahlah, Pras, sebenarnya aku sudah punya pacar. Dan hubungan kami baik-baik saja."
"Ancene kurang penggawean (Dasar kurang kerjaan)!"
“Kamu ngobrol apa saja sama dia pas ketemu, Pras?” tanyanya lagi.
“Nggak ngobrol apa-apa. Aku benar-benar nggak ingat siapa dia. Dia menegurku dan mengatakan pernah bertemu denganku sebelumnya. Kamu tahu aku, kan? Aku paling takut ketemu orang yang baru kukenal?”
“Pras, apa kamu mau mencatat nomor telpon atau hp-nya?"
“Enggak, ah!”

* Jumlah  :  1.545 kata
* Total      :  7.793 kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar