Senin, 02 Januari 2012

3. Gosip abu-abu


            Benar-benar gosip yang menggelikan. Batin Prastiwi. Dia dan Arik pacaran?  Kepalanya tergeleng beberapa kali. Ia bahkan tertawa sendiri seperti orang gila. Arik tak beda dengan teman-teman cowoknya yang lain. Kalaupun ia lebih dekat dan sering bareng kemana-mana, semata-mata karena kebetulan ia dan Arik sekelas dan sama-sama aktif ikut pecinta alam. Mosok iya, dari sekretariat ke kelas, atau dari kelas ke sekretariat mau jalan sendiri-sendiri? Nggak mungkin lah! Anak-anak saja yang iseng njodoh-njodohin dirinya sama Arik. Si Sabrina, sama pasangan gilanya si Alba. Dari merekalah sesungguhnya gosip itu bermuasal. Bagaikan sebuah asap, gosip itu ditiupkan ke segala  penjuru  kampus. Hingga mulai dari sekretariat, ruang kelas, bahkan di kantin. Semua orang membicarakannya. Sesekali ketika nampak ia dan Arik tengah melintas di suatu tempat, sebuah gerombolan mahasiswa yang tengah menunggu jam kuliah di depan kelas atau di dekat taman, sontak akan menepi memberi jalan untuk dia dan Arik. Tak luput dari mata Prastiwi, mereka terlihat berbisik-bisik satu dengan dengan yang lain sambil menunjuk-nunjuk arah dirinya dengan isyarat ekor mata mereka. Hmmm..... Ia kembali tergeleng.
Entah dengan Arik sendiri. Mustahil ia belum mendengar gosip itu. Tapi kenapa ia tenang-tenang saja? Setenang air danau yang tidak beriak sedikitpun oleh hembusan gosip yang menerpanya. Nggak mungkin Prastiwi akan mengusiknya dengan menanyakan tentang gosip murahan itu kepadanya. Mungkin Arik sama kayak dirinya. Nggak menganggap segala sesuatu harus ditanggapi dengan serius. Santai saja. Arik toh nggak mungkin naksir dirinya. Sama dengan dirinya yang nggak mungkin suka sama Arik.
Kuliah dimulai jam setengah tujuh theng! Pak Djati, dosen paling angker di seantero kampus nggak akan toleran terhadap mahasiswa yang telat meski dengan alasan apapun. Makanya meski dengan terkantuk-kantuk, ia dan pasti banyak mahasiswa lain di kelasnya berusaha datang tepat waktu. Ia melihat Arik menguap lebar ketika masuk kelas tadi dengan mata yang masih enggan terjaga. Sangat tidak bersemangat.
Di kantin, usai kuliah, nampak mereka duduk berhadapan dengan masing-masing menghadapi segelas kopi hitam yang mengepul di atas meja. Prastiwi meniup-niup kapi panasnya. Nggak sabar rasanya ingin segera menyeruput minuman sewarna comberan itu.  Wajahnya cantik. Dan selalu cantik dalam keadaan apapun. Bahkan ketika berada dibawah terik matahari dengan kulit wajah mulus itu berleleran keringatpun, tetap terlihat cantik. Juga saat berlepotan lumpur waktu pelantikan anggota pecinta alam dulu. Hitamnya lumpur tidak menghapus sedikitpun garis kecantikannya.
  "Rik," panggil cewek itu tiba-tiba. Arik tercekat. Nampak gugup, tapi agak rileks setelah menghirup sedikit minumannya.
"Kamu dengar gosip itu kan?" tanyanya akhirnya.
"Gosip? Oh, gosip?"
"Iya. Gosip yang mengatakan bahwa kita pacaran?" lanjutnya sambil berusaha menatap.
Arikpun tersenyum. Lalu menggaruk-garuk kepalanya. Oh, lega sekali Prastiwi begitu melihat reaksi itu. Tentu saja. Arik pasti menganggap dia adalah teman. Nggak lebih. Banyak cewek yang mengejar-ngejarnya selama ini. Di antaranya si peragawati  kampus yang cantik dan seksi itu. Juga anak ekonomi, si Reni. Dan ada lagi  Eva,  Tina, Risty. Kenapa harus dirinya?  Yang pasti ia lega setelah mengetahui reaksi lewat senyumannya itu.
"Ah, kamu kayak nggak tahu anak-anak saja," komentarnya makin membuat hatinya kian ringan tanpa beban.
"Iya. Aku tahu. Memang mereka suka mbikin gosip yang enggak-enggak."
"Kenapa, Pras? Kamu terganggu dengan gosip itu, ya?"
"Aku pikir justru kamu yang terganggu."
“Terganggu apa? Ah, aku biasa-biasa saja."
"Nanti cewek-cewek yang naksir kamu pada patah hati gara-gara gosip ngawur itu.”
“Cewek-cewek yang naksir aku? Siapa? Pacarmu mungkin yang marah.” Ia sempat berkilah dan membalikkan pertanyaannya.
Mata bundarnya melotot lucu.  Sementara bibirnya yang kemerahan mencibir. sebagai  reaksi antara geram dan sebal. Arik sambil hanya tersenyum simpul sengaja meledeknya. Ia masih ingat Prastiwi  pernah mengatakan nggak punya pacar.
"Kamu benar nggak punya pacar, Pras?" tanyanya masih ingin meyakinkan.
Prastiwi menegaskan dengan gelengan.
"Pras," Arik menatapnya dengan serius kini. Agak lama, begitu dalam dan mengandung sebuah pengharapan. 
 "Apa?" ia balas menatapnya, menunggu kalimatnya.
"Nggak. Nggak jadi. Lupakan saja," entah kenapa ia mengurungkan ucapannya. Kepalanya tergeleng beberapa kali.
“Kamu ini kenapa sih?!"
Cowok itu tetap bertahan dengan gelengannya.
Gadis dengan wajah polos dan kekanakan itu sesungguhnya tidak seperti yang tampak oleh kebanyakan orang. Arik mengenalnya lebih dekat dalam sebulan ini dan banyak kali dalam suatu perjalanan sebuah pendakian ke puncak gunung. Ia begitu keras dan sedikitpun tidak lembek. Ia tak pernah mengeluh atau bersikap cengeng seperti kebanyakan cewek.  Ia tidak gampang  kelelahan meski telah berjalan berpuluh kilo. Ia tidak memekik kepanasan ketika berada dibawah terik matahari. Atau ia hampir nggak pernah terdengar mengeluh kesakitan meski jatuh dan luka di bagian lengannya.  Entahlah, dalam banyak hal, Arik merasa begitu ingin bergantung dan terikat dengan seseorang yang  teguh dan kuat bagaikan batu karang itu. 
 Meski hatinya telah terpaut oleh pesonanya, namun ia tak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Entah sampai kapan ia akan memendam perasaan itu. Gosip yang beredar di kalangan anak-anak sekretariat itu sungguh bukan sesuatu yang begitu saja meletup di permukaan. Ia mengakui perasaannya itu di hadapan Alba, Rudi dan Adi. Dan suatu waktu ia ikut arus anak-anak menikmati minuman memabukkan. Dan di tengah mabuknya, ia berkicau dan mengoceh tentang gadis cantik bernama Prastiwi itu. (bersambung, ya!)

*) Tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana dan aku publish di blog aku di Cenil's Blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar