Minggu, 22 Januari 2012

14. Pertemuan terakhir (?)



Nada getar handphone merambah hingga ke seluruh permukaan mejanya yang penuh dengan tumpukan berkas pekerjaannya. Perlahan Fajar membuka sms yang masuk. "Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Maaf." Ia mengulang  membaca  kalimat itu sampai beberapa kali dan mendapati kesimpulan yang sama dari pesan itu. Prastiwi?
Darahnya berdesir lirih mengingat nama itu. Dan perasaan yang selama ini dikungkungnya kini menerobos keluar dan tak mampu dibendungnya., berhamburan liar memenuhi dadanya dan berlarian hingga ke otaknya. Apa yang akan dilakukannya? Apa ia akan menemuinya? Tapi, ia ingat mamanya. Masih terngiang dalam ruang telinganya setiap kata matanya tentang siapa Prastiwi. Dia orang yang dulu menolak dijodohkan dengannya. Apapun alasan yang dimilikinya, tetap saja penghinaan itu tidak bisa begitu saja dimaafkan. Ia menggeleng, dan tegas memutuskan tidak akan menemuinya. Demi mamanya. Demi harga dirinya.
Komputer dimatikan. Ia mencabut flashdisk dan memasukkan ke dalam satu tas dengan laptop.  Setelah dirasa tidak ada lagi yang tertinggal, iapun meninggalkan ruangan menuju tempat parkir. Ruangan mobil terasa sejuk begitu ia menyalakan AC. Fajar mengambil sesuatu dari dashboard mobil. Sebuah kartu berlaminating dengan foto seorang gadis manis di sana.
Nafasnya terhembus berat mengingat jerat keraguan yang membelitnya. Apa ia harus membuang kartu mahasiswa itu sehingga tidak merasa terbebani harus mengembalikannya? Tapi kenyataannya ia ingin sekali menemui gadis itu. Setelah ia tidak menjawab telponnya hingga beberapa kali, dan sms Prastiwi barusan mungkin sebuah pernyataan bahwa ia akan melupakannya juga. Ia terpaku, sementara detak jantungnya bertalu keras, mengingat bahwa sejak saat ini ia akan sulit sekali menemui gadis riang dan lucu itu. Bahkan bisa jadi ia takkan pernah bisa menemuinya lagi seumur hidupnya.
Ia mengantongi benda itu di kantong kemejanya, lalu mulai menyalakan mesin mobil. Dalam bebeapa saat terlihat dia dan mobilnya sudah melesak membelah ramainya jalan raya. Baiklah, ujar hatinya mengalah pada dirinya. Aku akan menemuinya sekali ini. Dan ini untuk terakhir kalinya. Bagai mengejar setan ia memacu mobil dengan kencang. Hari akan cepat sekali menjadi gelap. Dan ia tak mau membuang waktu  untuk bertemu Prastiwi. Dan kartu mahasiswa itu alasan untuk menemuinya untuk yang terakhir kalinya.
Kurang dari dua jam ia sampai di suatu tempat. Setelah memarkir mobil ia melepas dasi yang serasa mencekik leher lalu mencampakkannya di jok mobil, baru ia keluar. Sebuah retoran siap saji yang biasa menjadi tempat ia bertemu dan ngobrol dengan Prastiwi menjadi tujuannya menemukan gadis itu. Ruangan tidak seramai biasanya. Mungkin karena bukan saat weekend. Ada banyak kursi yang kosong. Sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk mengenali sosok yang duduk di suatu tempat itu Prastiwi atau bukan.
Dan Fajar menemukannya. Rambutnya dikuncir dengan karet yang ada boneka  panda. Begitu polosnya wajahnya. Sepolos anak-anak rambut yang merambati sekitar dahinya. Ia mengenakan jaket yang direslitingkannya dengan rapat hingga ke lehernya. Sementara tangannya sibuk menulis sesuatu. Begitu serius hingga tak menyadari sedikitpun ada seseorang berdiri di hadapannya dan memperhatikan apa yang dilakukannya.
"Hai," tak tahan lagi Fajar untuk mengejutkannya.
Gadis itu terdongak. Matanya terbelalak karena kaget. Sedetik dari kekagetannya beranjak ke warna geriap yang kontras. Namun pada detik berikutnya sinar redup dalam matanya tak lagi nampak cahaya. Mulutnya juga merapat, lalu tundukan wajahnya yang entah karena sengaja ingin menghindarinya atau dalam upayanya yang keras mengerjakan sesuatu di atas meja . Selanjutnya ia hanya menampakkan jidad, rambut dan kuncirannya yang lucu itu.
"Boleh aku duduk?" usik Fajar lagi.
"Silakan. Ini tempat umum kok," sahutnya tanpa mengangkat wajah.
Fajar menyabarkan hatinya. Ia tahu kenapa sikap Prastiwi acuh tak acuh begitu.  Ia ingat telpon Prastiwi   yang disampaikan Marisa selama beberapa hari berturut-turut. Dan dalam  beberapa kali menelpon, tidak sekalipun Fajar menerimanya dengan alasan  sibuk dengan pekerjaannya.
Fajar membiarkannya dengan keacuhannya hingga beberapa saat. Sementara ia menikmati minuman soda yang dipesannya sambil memikirkan kata-kata yang bisa memancing perhatian gadis di hadapannya itu.
“Prastiwi,” panggilnya pelan setelah menghela nafas. “Kenapa kamu menelponku?”  akhirnya ia mengajukan pertanyaan itu.
"Siapa yang menelponmu? Aku nggak pernah menelponmu," bantahnya. Wajah maupun tangannya masih melekat satu fokus pada lembaran kertas di atas meja.
"Oya? Jadi kamu nggak nelpon ke kantorku  kemarin? Lalu kenapa kamu berada di sini?"
Prastiwi mengangkat wajah segera. Dan tampangnya seperti orang  yang siap bertarung.  "Aku ke sini atau ke mana itu urusanku. Kamu sendiri untuk apa ka sini?"
Sebuah kertas berlaminating yang mengkilat dan menyilaukan oleh pantulan lampu melesak ke atas meja. Mata Prastiwi terpaku pada benda yang tidak asing baginya itu. Dan tangannya cepat meraihnya untuk meyakinkan bahwa itu benar miliknya. "Kartu mahasiswaku? Kok kamu bisa membawanya? Dari mana kamu bisa mendapatkan kartuku ini? Padahal aku sudah mencarinya sampai ke mana-mana."
"Aku ke sini hanya untuk mengembalikan kartu mahasiswamu ini. Aku menemukannya di atas meja waktu terakhir kita ketemu dulu. Kamu menjatuhkannya tanpa kamu menyadarinya. Aku pernah mencoba datang ke kampusmu, dan aku bertemu kamu,.Waktu itu  kamu sedang keluar kampus  sambil naik motor rame-rame dengan teman-temanmu. Kencang sekali. Nggak mungkin aku mengejarmu hanya untuk menyerahkan kartu itu."
Terdengar helaan nafasnya yang sempat tertahan. Pandangannya yang tajampun menyurut. Tak lama iapun kembali memandangi kertasnya sambil menuliskan sesuatu di tempat-tempat tertentu. "Trima kasih sudah mengembalikan kartu mahasiswaku." ucapnya terasa begitu tulus, meski tanpa menatap ke arah di hadapannya.
"Jadi kamu punya nomor handphone sekarang?"
Prastiwi mengangkat wajah. "Sorry kalau aku sudah mengganggumu dengan menelponmu. Aku  berjanji untuk tidak menelponmu lagi," ucapnya dengan sungguh-sungguh.
"Aku memang sedang sibuk banget kemarin. Maaf, ya, aku tidak bisa menerima telponmu. Banyak sekali yang harus aku kerjakan."
Prastiwi hanya menghela nafas. Ia tidak yakin dengan alasan Fajar kenapa tidak menerima telponnya. Mungkin ia benar-benar sibuk atau memang sedang tidak ingin menjawab telponnya. Dan ia kesal dengan kemungkinan terakhirnya. Lalu untuk apa ia memberikan kartu nama?
“Kamu sedang nulis apa?” tanya Fajar.
“Biasa, tugas,”                            
Seharusnya itulah batas akhir Fajar menemuinya. Ia sudah memberikan kartu mahasiswa milik Prastiwi. Dan ia sudah mengklirkan masalah di antara mereka. Namun pada lenyataannya ia masih belum menyudahi pertemuannya. Ia belum juga mau beranjak dari tempat duduknya. Bahkan matanyapun masih belum mau berhenti beralih dari wajah di hadapannya itu.
"Aku sudah menyimpan nomormu. Lain kali kamu bisa menelpon ke handphone-ku saja."
"Aku tidak akan menelponmu lagi," sahutnya seperti bersumpah.
"Kalau gitu aku yang akan menelponmu."
"Untuk apa kamu menelponku?"
"Yach, untuk menemuimu, lalu ngobrol seperti biasa."
Prastiwi tercenung dan dalam sesaat ia mengingat sesuatu. "Apa cewek yang menerima telpon di kantormu itu pacarmu?"
"Siapa? Cewek yang menerima telpon kamu? Si Marisa maksudmu? Bukan. Dia bukan apa-apaku. Dia itu hanya sekretaris di kantor."
"O, begitu?"
“Apa dia ngomong sesuatu sama kamu?"
"Ah, enggak."
Fajar ingat sepenuhnya kata-kata mamanya tentang siapa dan bagaimana Prastiwi.  Dan ia juga sadar dengan apa yang dilakukannya kali ini. Ia tidak mengelak jika  dikatakan menyukai Prastiwi. Tapi demi mamanya, maka ia tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menghancurkan dirinya maupun masa depannya. Ia punya batas sejauh mana ia akan menyukai gadis itu. Sejauh Prastiwi akan bertobat tentu saja, dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap dirinya maupun keluarganya. Tapi kalau memang ia tidak mau berubah, maka demi wanita yang telah mengandung dan melahirkannya, ia akan meninggalkannya walau dengan luka lebih parah dari yang pernah diderita oleh mamanya maupun keluarganya.
Kertas foto kopian itu telah pindah ke tangan Fajar ketika Prastiwi merasa kesulitan dengan sebuah kalimat yang susah sekali diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Prastiwi harus menyelesaikan terjemahan itu untuk referensi tugas makalah yang harus dikerjakannya. Dan setelah tugasnya selasai suasana kembali seperti biasa. keduanya kembali ngobrol santai dan mengambil topik dari yang seru sampai yang banyolan.
"Bagaimana kamu bisa membagi waktu untuk kuliahmu dan kegiatanmu naik gunung?" tanya Fajar heran ketika menyadari perubahan di wajah di hadapannya itu. Kemerah-merahan dan agak kusam  di sebagian permukaan wajah itu sudah pasti akibat terik matahari. Dia habis melakukan perjalanan ke sebuah gunung.
"Harus bisa, dong. Teman-temanku di pecinta alam adalah penyemangat hidupku. Rasanya nggak mungkin aku bisa meninggalkan mereka, kecuali mungkin kalau aku sudah lulus kuliah. Sementara kuliah itu untuk masa depanku. bagaimanapun sulitnya, aku harus bisa menyelesaikannya secepatnya."
“Prastiwi, apa kamu merokok?" pertanyaan itu sulit sekali dibendungnya keluar dari tenggorokanya.
"Apa?" Prastiwi heran mendengar pertanyaan miring itu. "Apa aku seperti orang yang suka merokok?" ia mengembalikan pertanyaan itu padanya. "Hampir semua temanku perokok. Jadi kalau aku berada di antara mereka, sudah pasti aku bau rokok. Jaketku, rambutku,  bahkan tasku semua bau rokok."
"Kamu...nggak ikut minum-minum seperti teman-temanmu yang sering kamu ceritakan itu, kan?"
"Astaghfirullah hal adhim. Fajar, kamu kalau menginterogasi orang jangan keterlaluan ya!" tukasnya sebal dan marah. "Sebenarnya aku sudah biasa mendengar komentar ganjil itu dari orang-orang yang sok tahu seperti apa kehidupan anak-anak pecinta alam itu. Pemabuk tidak hanya ada di pecinta alam. Nggak perlu harus jadi pecinta alam kalau memang mau jadi pemabuk!"
"Sory, sorry...aku..."
"Don't judge a book by its cover."
"Apa artinya itu?" Fajar bertanya, pura-pura nggak tahu.
"Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya." jawabnya tangkas. 
Fajar tersenyum dan diam-diam terkesima mendengar penuturannya. Kalau saja mamanya tahu, bagaimana sulitnya ia memadukan dua sifat yang seperti kata mamanya dengan yang ia lihat sekarang ada dalam diri seorang Prastiwi.
"Fajar, apa benar kamu belum menikah? Benar kamu belum punya istri?" tanya Prastiwi dengan malu-malu. Suatu ketika pertanyaan yang memang sering kali mengganjal benaknya itu meluncur juga dari mulut dan dianggapnya sebagai pertanyaan balasan atas pertanyaan Fajar tentang kebenarannya merokok dan minum.
"Aku harus bersumpah dengan cara apa biar kamu percaya bahwa aku belum beristri?" sahutnya seraya mengambalikan pertanyaan itu kepadanya.
Wajah yang sedianya selengekan itu kini berubah diam terpaku.  Kalau pacar? Apa kamu sudah punya? Tanya Prastiwi namun hanya berani mengungkapkannya lewat hatinya. Ia khawatir jawaban yang akan diterimanya justru akan menyudutkannya. 'Bagaimana kalau kamu jadi pacarku?' Lalu apa yang akan dijawabnya kalau Fajar nekad menembaknya? 
"Nonton, yuk!" ajak Fajar tak lama kemudian.

Jumlah :  1.589

Tidak ada komentar:

Posting Komentar