Kamis, 05 Januari 2012

5. Anak Emas

 Prastiwi tinggal berdua dengan ibunya di rumah mereka yang sederhana di dalam sebuah gang sempit yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari pusat kota. Bapaknya meninggal setahun yang lalu, tepatnya lima belas bulan yang lalu. Dua saudaranya sudah meninggalkan rumah setelah  menikah dan berada jauh di luar kota Malang, tempat kelahiran mereka. Budi, kakak tertuanya yang lulusan Akabri tinggal di Batam. Sementara Lestari yang sekarang ini tengah menempuh sarjana S2-nya tinggal di Semarang bersama suaminya. Seorang pembantu yang mengabdi sejak ibunya baru menikah dulu datang pada pagi hari untuk mengerjakan pekerjaan rumah, lalu pulang menjelang sore harinya.

Hubungan keduanya buruk. Prastiwi bahkan lupa kapan terakhir dia makan bersama di meja makan bersama ibunya. Keduanya hampir tidak pernah terlibat percakapan meski tinggal dalam satu atap. Penghubung keduanya tidak lain adalah mbok Jum, pembantu mereka. Prastiwi mengerti dan sangat maklum dengan sikap ibunya yang tidak hanya tidak memperdulikannya. Prastiwi bahkan merasa ibunya  mungkin tidak akan menganggapnya lagi sebagai anaknya, seseorang yang dulunya pernah bercokol di dalam rahimnya selama sembilan bulan lamanya. Namun begitu Prastiwi masih bersyukur ibunya masih mau mengirim uang lewat mbok Jum untuk keperluan kuliahnya. Dan ia sangat menghargai uang pemberian ibunya itu walau diberikannya dengan cara yang yang tidak wajar. Melalui seorang perantara. Melalui mbok Jum.Padahal ibunya bisa memberikannya langsung kepadanya. Wong mereka hidup dalam satu rumah. Tapi ibunya mungkin sengaja menyiksanya atau mengukumnya dengan cara yang dikehendakinya. Prastiwi menerima apapun bentuk  hukuman ibunya. Yang lebih dari sekedar mendiamkannya pun ia akan terima.

Ia tahu, dosanya di masa lalu bagi ibunya tidak akan terampuni oleh kebaikan apapun yang diperbuatnya. Bahkan Tuhan Semesta Alampun lebih dari semarah ibunya. Prastiwi tahu, Prastiwi merasa, Allah yang tetap ia menyembahNya lima kali dalam sehari itu tak kan bergeming dengan bentuk sujudnya yang sekusuk apapun. Allah tidak memperdulikannya. Allah tidak mengacuhkannya. Oh, betapa berat sesungguhnya jalan hidup yang tengah dilaluinya. Selama lima belas bulan ini prastiwi baru menyadarinya, bahwa ia begitu sendiri dan tidak punya siapa-siapa. Jika Tuhannya benar-benar marah padanya, kepada siapa kini ia bisa berharap perlindungan? Jika Allah benar mengucilknnya dari sentuhan kasih sayangnya kepada siapa sesungguhnya ia akan memohon keselamatan?

Entah kapan mulainya.bayangan-bayangan itu terus mendatanginya. Tidak hanya saat ia terlelap, kadang saat ia benar-benar tengah sadar sepenuhnya. Ia menyelinap dalam ingatannya. Ia muncul di antara kedip matanya. Prastiwi tak pernah berhasil mengusirnya. Ia tak pernah berhasil menghentikannya. Pikiran-pikiran itu seolah bukan datang dari dalam dirinya. Tapi dari mana? Entahlah. Sedetik, setengah menit, bahkan hingga bermenit-menit cuplikan gambar tertayang dengan begitu jelas di otaknya. bagai sebuah video yang distel ulang kemudian di ualng dan diulang lagi.

Rumah penuh oleh orang yang datang melayat. Sementara sosok yang membujur di ruang depan dengan ditutupi selembar jarit itu tak ain adalah bapaknya. Ibunya sudah tidak bisa lagi menangis. Wajahnya beku, penuh kabut dengan pandangan mata menerawang jauh dan koson. Sementara Lestari kakak perempuannya sudah berkali-kali dibopong karena pingsan. Ia menangis pilu setiap kali teringat bapaknya akan pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Sementara Budi kakak tertuanya dengan wajah murung hanya terlihat sesekali menyeka matanya yang basah oleh air mata.

Dari hari ke hari perasaan berdosa itu mulai mencabik hatinya. Pedih, perih. Prastiwi menutup wajahnya ketika bayangan tubuh kaku bapaknya masuk ke dalam liang lahat. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mengibaskan rentetan hal menyedihkan sepanjang hidupnya. Selesai acara pemakaman, Prastiwi tidak pernah mencoba mengenang bapaknya walau hanya sekedar menatap sejenak foto bapaknya. Ia juga tidak sekalipun pernah pergi ke pemakaman hingga detik ini. Ia hanya sesekali mendoakan bapaknya seusai sholat tanpa pernah menautkan emosi dalam jiwanya. Semua itu ia lakukan agar bisa tetap tegar. kalau ia larut dalam kesedihan lalu menangis oleh rasa kehilangan yang begitu dalam, ia takkan bisa melanjutkan hidupnya. Bukankah ia harus tetap hidup, bisa kuliah sampai lulus lalu bekerja? Sebagaimana layaknya yang dilakukan orang yang beranjak dewasa. Ada atau tak ada bapaknya, ia akan tetap seperti itu. Ia takkan selamanya menjadi anak kecil. Ia akan beranjak dewasa dan menjadi orang yang mandiri, tidak cengeng dan tetap tegar walau keadaan sesulit apapun.

Namun ketegaran itu agaknya kini sudah rapuh. Prastiwi kadang merasa tak kuat menahan berat tubuhnya. Ia jadi gampang tersentuh hanya melihat seorang ibu berpakaian lusuh menggendong anaknya yang juga berbaju kumal datang padanya untuk mengemis dan meminta sedekah. Dan sikap serta perlakuan ibunya saat ini  sungguh membuatnya tertekan. Ia pernah mencoba bicara dengan ibunya, namun ibunya tak bergeming.  Ibunya tak perduli dengan apa yang dikatakannya. dan tidak perduli apa-apa yang akan dilakukannya. Suatu ketika ia begitu rindu belaian ibunya di ruang tengah dan saat itu ia  bercerita tentang  pelajaran di sekolah, tentang guru-gurunya, juga tentang teman-temannya.

Prastiwi ingin minta maaf. Tapi ia merasa ibunya tetap tidak akan  memaafkannya. Di satu sisi ia merasa tidak bersalah. Bapaknya meninggal karena memang sudah takdir. Setiap makhluk hidup hanya Allah yang menentukan kapan akan berakhir masa umurnya. Jadi ia tidak mengerti kenapa ibunya menyalahkannya atas meninggalnya Bapaknya.

"Bapak meninggal karena sakit jantung. Sudah lama Bapak punya penyakit jantung," Prastiwi mencoba mengingatkan ibunya waktu itu.

"Kalau kamu tidak membantah kata-kata Bapakmu, maka jantung Bapak tidak akan kambuh. Dan Bapak tidak akan meninggal. Kamu dengar?" sahut ibunya tajam.

Prastiwi terdiam. Ia enggan menyahuti kata-kata ibunya. Ia sungguh menyayangkan pendapat ibunya yang keliru menilai sebuah kematian seseorang. Kematian itu suatu takdir. Siapa yang bisa mencegahnya? Kalaupun bapaknya sakit jantung karena dia, lalu yang mencabut nyawa bapaknya kan malaikat utusan Allah? Ia menghela nafas diam-diam.

Prastiwi memang anak emas bagi bapaknya. Apapun yang dia minta, pasti akan dipenuhi. Begitu dekatnya hubungan Prastiwi dengan Bapaknya. Bahkan setiap kali dia sakit, bapaknyalah yang ada di sampingnya dan merawatnya.

“Sembuh kamu ya Nak, nanti Bapak akan belikan kamu motor,” bujuk Bapaknya sembari mengompres dahi putri kesayangannya dengan lap basah. Tubuh ringkih itu terbaring lemah di tempat tidur. Tidak bergerak. Sejenak matanya yang terbuka sayu, lalu  kembali terpejam.

Prastiwi lolos seleksi di sebuah SMA favorit. Dan ia benar-benar mendapat hadiah motor seperti yang dijanjikan bapaknya. Dan dengan   motor itu pula ia terjatuh saat berboncengan dengan temannya. Luka memanjang di bagian lengannya itu membekas hingga sekarang.

Ketika naik ke kelas tiga, Bapaknya mulai membicarakan hal-hal yang membuatnya tercengang, terperangah, dan marah.

“Nanti kalau lulus, kamu kuliah di tempat mbakyumu kuliah dulu itu, Ndhuk. Kamu ambil fakultas Kedokteran. Bapak pengin kamu nanti jadi dokter. Hmm, Bapak akan bangga sekali padamu.”

 “Tapi Prastiwi pengin jadi guru kayak ibu, Pak,”

“Tidak. Mbakyumu sudah jadi guru, mosok kamu juga jadi guru? Kamu ke Kedokteran saja, ya?”

“Ah, Bapak,” gerutunya.

Padahal Bapaknya selalu  mengatakan bahwa masa depan dirinya ada di tangannya sendiri. Tapi kenyataannya bapaknya selalu memutuskan sendiri segala sesuatu yang berhubungan dengan masa depannya. Yang lebih membuatnya geram adalah ketika bapaknya mengatakan bahwa Bapaknya sudah menjodohkan dirinya dengan laki-laki, anak dari temannya waktu masih dinas di militer dulu.

“Bapak ini, apa-apaan sih?” protesnya seketika. “Katanya masa depan Prastiwi ada di tangan Prastwii sendiri? Tapi kenyataannya Bapak malah menjodoh-njodohkan Prastiwi dengan orang yang belum tentu Prastiwi sukai!”

“Semua itu untuk kebaikanmu, Ndhuk. Semua orang tua pasti menginginkan anaknya hidup dengan bahagia.”

“Tapi Prastiwi nggak akan bahagia kalau Bapak terus mengatur, mendikte dan menjodoh-jodohkan Prastiwi dengan orang lain. Prastiwi bisa nyari jodoh sendiri. Percayalah, Pak, Prastiwi nggak akan mengecewakan Bapak. Prastiwi akan membuat Bapak bangga nanti.”

Bapaknya terlihat menggeleng dengan wajah kecewa. “Tidak, Ndhuk, masalah perjodohan itu sebaiknya jangan kamu tolak,” pintanya dengan sangat.

“Jaman sekarang nggak ada lagi model jodoh-jodohan begitu, Pak. Orang bisa mendapatkan pacar dengan mudah  lewat internet, twitter atau facebook. Nanti Bapak akan Prastiwi carikan calon mantu seperti yang Bapak inginkan. Bapak mau yang kayak apa? Yang ganteng? Kaya?Punya jabatan? Atau....”

“Prastiwi!” tegur ibunya tajam.

“Pokoknya aku nggak mau dijodoh-jodohkan!  Aku akan minggat dari rumah kalau Bapak dan Ibu terus mamaksa aku menerima perjodohan itu!” ancamnya.

“Prastiwi!” seru ibunya lebih keras.

Tanpa memperdulikan keduanya, Prastiwi bangkit dan melangkah lebar menuju kamarnya. Tidak digubris panggilan ibunya di belakangnya.

Rahayu, ibunya Prastiwi adalah seorang istri yang patuh dan hormat kepada suami. Selama mereka menikah, tidak pernah ia membantah atau bersikap menentang terhadap suaminya. Apapun keputusan suaminya selalu diterimanya dan didukungnya. Dan melihat Prastiwi, anak ragil mereka yang bersikap membantah Bapaknya begitu, ia jadi geram dan sekaligus  menyalahkan dirinya sendiri, karena     merasa dirinyalah yang selama ini yang mendidik anak itu.

“Prastiwi, dengarkan Ibu,” kata ibunya ketika berada di kamar Prastiwi.

Gadis itu duduk di pinggir kasur dan bersandar ke tembok sambil membekap guling. Matanya yang berkaca-kaca cepat diuasapnya dengan punggung tangannya. Begitu mengetahui kehadiran ibunya, hatinya makin kesal. Ia tahu ibunya pasti akan membujuknya. “Apa Bapak dan Ibu punya hutang dengan seseorang?” tanyanya dengan ketus sambil matanya menatap ibunya dengan tajam.

“Hutang? Kami nggak punya hutang dengan siapapun,” sahut ibunya.

“Terus, kenapa Bapak dan Ibu terus memaksa Prastiwi dan menjodoh-jodohkan dengan orang lain? Prastiwi merasa jadi tumbal saja!”

“Kamu ini ngomong apa!” sergah ibunya dengan matanya yang galak.

Namun Prastiwi tidak takut dengan apapun saat ini. Hatinya galau dan gusar membayangkan keputusan Bapaknya yang sepertinya tidak bisa diubah itu. Apa seperti itu yang disebut kasih sayang orang tua kepada anak? Selalu harus memaksakan kehendak? Nggak perduli bagaimana perasaan sang anak. Sebegitu yakinnya Bapak dan Ibunya bahwa Prastiwi akan hidup bahagia dengan suami pilihan mereka.  Suatu ketika saat bapak dan ibunya sudah tiada, tinggallah Prastiwi dengan suami pilihan bapaknya itu. Kalau ternyata sang suami itu buruk kelakuannya, apa bapak dan ibunya tidak akan menyesal di alam kubur mereka? Kalau ternyata perilakunya hanya akan menyiksa lahir dan dan batin Prastiwi, apa itu yang dikatakan bahwa orang tua hanya ingin anaknya hidup bahagia?

Tapi jauh dari itu semua, seharusnya Bapak dan ibunya sadar, Prastiwi masih kecil. Usianya masih tujuh belas. Beberapa bulan lagi baru menginjak delapan belas. Tega banget Bapaknya memaksanya kawin di usia segitu? Dia masih ingin main dengan teman-temannya. Dia juga masih pengin sekolah, kuliah sampai lulus, lalu bekerja.  Memang kata Bapaknya pokoknya kenalan dulu, lalu  tunangan, baru menikah. Tetap saja saja semua itu membuat resah hatinya. Tidak tahu dengan cara apa dia akan berusaha melepas ikatan perjodohan itu.

“Perjodohan ini bukan saja rencana Bapak dan Ibu. Tapi Mbak Kakungmu juga sudah merencanakannya,” ujar ibunya. “Ini bagian dari wasiat Mbah kakungmu. Kalau kami nggak melaksanakan semua itu kami akan merasa bersalah.”

“Benar, kan? Prastiwi semata-mata hanya tumbal, kan?” sahutnya sinis.

“Prastiwi,”

“Ibu punya dua anak perempuan, kenapa bukan mbak Tari yang dijodohkan? Kenapa harus Prastiwi?!”

Wanita bersahaja itu menatap anak perempuannya dengan seksama. “Ibu mengatakan hal yang sebenarnya, Nak. Waktu itu kami sudah mengusulkan agar mbakyumu saja yang dijodohkan dengan cucu dari sahabat mbah Kakungmu itu. Tapi mereka lebih memilih menunggu bayi yang bahkan waktu itu masih dalam kandungan. Bayi itu adalah dirimu.”

Prastiwi terperangah mendengar pernyataan ibunya  itu. Benar apa yang dikatakannya. Bahwa dirinya tak lebih dari sebuah tumbal belaka. Bahkan dia dijodohkan ketika masih dalam kandungan. Hhhhh, sesak dada Prastiwi memikirkan kenyataan yang tidak masuk akal itu. Memangnya siapa orang yang akan dijodohkan dengannya itu? Apa dia seorang raja? Apa dia seorang penguasa? Apa dia manusia yang nggak punya otak sehingga mau dijodohkan dengan segumpal janin di dalam sebuah rahim?

Sifat otoriter itu memang melekat pada diri bapaknya. Sebelumnya Lestari, kakak perempuannya juga mengalami hal serupa dengannya. Hanya saja Lestari itu orangnya sangat penurut dan nrimo saja dengan apapun yang dikatakan bapaknya kepadanya. Ia seperti nggak punya pilihan setiap kali bapaknya memerintahkan harus begini atau harus begitu. Kalaupun ia punya keinginan lain dari yang Bapaknya minta, maka baginya keinginan dirinya itu menjadi nggak penting. Selulus sekolah Bapaknya memintanya meneruskan kuliah di IKIP, karena Bapaknya ingin dia menjadi guru. Dan Lestaripun sendiko dhawuh  (melaksanakan perintah) saja. Begitu juga yang terjadi pada Budi, kakak pertamanya. Memang Prastiwi nggak begitu memahami kejadiannya. Ia masih begitu kecil kala bagaimana Bapaknya memaksa anak laki-laki kebanggaannya itu mendaftar masuk Akabri. Dan apa wanita yang dinikahi Budi itu juga termasuk dalam program perjodohan dari bapaknya, entahlah. Tapi Prastiwi bisa menebaknya. Mengingat kakaknya Budi itu  sifat penurutnya dan sikap patuhnya pada orang tua sama persis sepeti halnya Lestari.  Namun begitu ia sangat berbeda ketika sudah mengenakan sergam dinasnya. Sangat gagah dan  ganteng. Tentu saja Prastiwi juga bangga melihat penampilannya. Tapi masalah melawan keegoisan Bapaknya itu, rasanya Budi takkan punya keberanian sebagaimana keberaniannya bertempur di medan perang.

* Jumlah  :  2.007 kata
* Total      :  6.248 kata





1 komentar: