Senin, 02 Januari 2012

2. Rumah Kedua


 Prastiwi keluar dari ruang kuliahnya lalu berjalan menuju belakang kampus. Di lantai dasar sebuah gedung aktivitas mahasiswa yang berdiri kokoh setinggi empat lantai itu sebuah nyanyian yang disuarakan beramai-ramai  dengan iringan lantang sebuah gitar itu terdengar begitu nyaring. Lagu dari Ebiet G. Ade, Cintaku kandas di rerumputan.
Senyumnya tersembul kala menyimak lagu yang memang bernada riang itu. Kalau disimak dari teks-nya, sebenarnya itu jenis lagu sedih merana, namun lagi itu dinyanyikan dengan nada riang gembira seperti halnya   lagu  ‘Selamat Ulang Tahun’,  yang bisa dinyanyikan sambil bertepuk tangan. Tanpa sadar senandungnya lirih mengalun, mengikuti nyanyian di atas sana.
“....                                            
Dan ketika engkau datang, aku pejamkan mataku
Samar kudengar suaramu lembut memanggil namaku
Seketika sukmaku melambung
Kuputuskan untuk berlari, menghindarimu sejauh mungkin
Cintaku kandas di rerumputan.”

Langkahnya ringan menapak anak-anak tangga menuju lantai dua.Ternyata gerombolan penyanyi itu berada di luar sekretariat. Pantas saja suaranya kedengeran sampai ke luar gedung.  Ada Arik si penggenjreng gitar, kemudian Yessi,  Sarah, Sabrina, Higo dan Syarif. Arik melambai padanya begitu melihat kehadirannya. Begitu juga Yessi dan Sabrina. Prastiwi bergabung sejenak. Ingin sekali ia bisa bernyanyi seperti mereka, namun suaranya nggak pernah bisa keluar. Nggak pede. Ia merasa suaranya jelek, takut merusak telinga orang yang mendengarkannya.
Tak lama Prastiwi beringsut masuk ke dalam ruangan.  Ada Eka dan Bagas yang tengah serius menghadapi papan catur.  Sementara di meja lain ada  Alba si ketua umum,  juga pengurus harian, Rudi dan Adi. Adi anak ekonomi. Sementara Alba dan Rudi  anak tehnik, sama seperti Prastiwi, dan juga Arik. Hanya bedanya Alba dan Rudi kakak-kakak kelas. Beda dua angkatan diatasnya.  Mereka juga kakak-kakak senior di pecinta alam.
“Hei, Pras!” Rudi menyempatkan menyapa Prastiwi, di tengah keasyikannya membahas sesuatu di atas selembar peta gunung. Alba dan Adi ikut menoleh dan tersenyum oleh kehadirannya.
 Prastiwi mendekati meja mereka dan menatap lembaran peta gunung di atas meja. Ia membayangkan susahnya mempelajari materi navigasi waktu diklatsar dulu.
“Ini namanya peta gunung. Gunung Semeru,” kata si ketua umum menjelaskan  kepadanya. “Kamu pernah naik ke Semeru?”
Kepalanya terangguk dengan mata berbinar penuh bangga. Gunung tertinggi se-Jawa itu sudah pernah ia takhlukkan.
“Iya, tujuh belas Agustus kemarin dia ikut,” Adi mengiyakan. “Wah, hebat, kuat dia. Nggak KO sama sekali,”  lapornya sekaligus memujinya, membuat wajah Prastiwi merona.
“Mau nggak ke sana lagi?” tanya Rudi menantangnya.
“Kapan mau ke sana lagi?” Tiba-tiba ia merasakan bayangan sebuah  medan berat yang harus dilalui. Namun sedetik teringat bagaimana takjubnya menatap keindahan Ranu Gumbolo. Dan puncak Mahameru, sungguh, ia takkan pernah melupakan sepanjang hidupnya. Sangat indah dan mempesona
Ketiganya berpandangan dan tersenyum satu sama lain.
“Rencananya mau ada pelatihan SAR di gunung Semeru bulan depan. Kita diminta dua orang utusan untuk mengikuti acara pelatihan itu. Syaratnya  harus bisa membaca kompas dan membaca peta gunung.”
“Haah, aku nggak bisa membaca peta. Susah sekali. Njlimet banget gambarnya,”  akunya tanpa malu-malu.
“Nggak masalah. Nanti kami ajari. Kalau perlu kita akan mengadakan diklat lanjutan khusus untuk materi SAR dan navigasi di Pagak. Terbuka untuk siapa saja yang mau ikut.”
“Ya, sudah. Aku mau.”
“Yang penting kamu jangan nangis waktu mengikuti pelatihan SAR nanti, ya? Masalahnya kegiatannya memang berat. Kamu mungkin akan di suruh berjalan di medan berat selama berhari-hari untuk mencari seorang korban pendakian.”
“O, gitu?” Menangis? Ia mencibir seketika.
“Siap?”
“Insya Allah,” sahutnya nggak yakin.
“Eh, Pras, kamu asli mana sih? Bukan asli arek Malang, ya?” Rudi tiba-tiba mengalihkan bahan pembicaraan.
“Aku lahir di sini, kok,”
“Mosok, sih? Tapi kenapa kamu kalau ngomong kayak putri Solo begitu?”
“Ah, “ sergah Prastiwi membantah pernyataan itu.
“Iya,” Alba mengiyakan dengan heran dan agak mengejek.
Satu hal yang berbeda dari lingkungan manapun,  di pecinta alam hubungan antara adik kelas dan kakak kelas, tidaklah harus berjarak sedemikian rupa. Bahkan dalam kesehariannya, Prastiwi tidak perlu memanggil mas, mbak atau kakak untuk kakak-kakak seniornya. Dan mereka nggak pernah mempersoalkan hal sepele itu. Sehingga hubungan mereka tetap dekat dan akrab walau sebenarnya berselisih antara senior dan yunior.
Ruangan itu  pengap oleh kepulan asap rokok yang bergulung-gulung memenuhi ruangan.  Asap itu diam sebentar dan membaur dengan udara di dalam ruangan sebelum berlarian keluar melewati jendela besar dan pintu depan. Namun cowok-cowok yang sedang berada di ruang depan itu tak berhenti menghisap rokoknya. Hampir semua cowok di sekretariat merokok. Saking terbiasanya Prastiwi melihat seseorang merokok, ia malah heran jika melihat cowok nggak merokok. Seperti ada yang aneh, ganjil dan nggak masuk akal.
Sekretariat pecinta alam berada di lantai dua sebuah gedung kemahasiswaan yang terletak di bagian belakang dari lokasi luas sebuah kampus. Ruangan yang penuh peralatan naik gunung dan barang-barang inventaris itu ditata sedemikian rupa menjadi ruangan semi formal. Lemari kaca yang menyimpan piala dan banyak penghargaan serta rak buku berisi arsip, buku kegiatan, foto-foto dan sebagainya diletakkan di bagian tengah sekaligus menjadi penyekat antara ruang depan dan belakang. Ruangan depan digunakan untuk rapat, untuk menerima tamu, selain juga untuk ngobrol, main catur  atau nyanyi-nyanyi. Sedangkan ruang belakang dipakai untuk sholat, ganti baju darurat,  seringkali juga dipakai cewek-cewek bergosip dengan kadar gosip yang biasa sampai yang masih sangat rahasia. Seringkali pula beberapa anak terlihat tidur di ruang nyempil itu. 
Pada dinding sebelah kiri di ruang depan terdapat papan berisi nama-nama berikut jabatan yang terangkum dalam struktur organisasi. Sementara di sisi dinding yang lain terdapat papan tulis berisi foto-foto kegiatan dan pengumuman atau jadwal kegiatan. Di ruangan sederhana itu terdapat pula lukisan sederhana, benda-benda khas dari berbagai suku pedalaman, yang ditempel di tembok berjejer dengan gulungan tali kernmantel, carabiner, dan barang-barang  sejenisnya.
Tidak jauh dari gedung kemahasiswaan, berdiri sebuah menara  yang di salah satu sisinya  berupa arena panjat tebing, sebuah tempat yang menjadi kegiatan khas anak-anak pecinta alam. Menjadi favorit sekaligus  membanggakan. Kegiatan itu selalu menjadi tontonan mahasiswa-mahasiswa di kampus kala seseorang dengan dilengkapi tali pengaman  merayap bak cicak di ketinggian dua puluh meter itu.
Keadaan hingar bingar tak terelakkan hampir setiap harinya. Sapaan aneh, obrolan seruh sampai lucu, coleteh konyol, dampratan serta makian kasar  membaur dengan canda dan gelak tawa yang berderai-derai yang menggema hingga ke tiap lantai gedung. Tidak ada pertengkaran yang berarti yang pernah terjadi di dalam sekretariat.  Dalam keseharian di ruangan itu hanya ada hubungan akrab dan kompak melebihi antara teman dengan teman. Di setiap waktu selalu saja ada tingkah menggelikan atau guyonan yang sanggup membuat mulut tersenyum geli atau tergelak oleh tawa. Ruangan itu telah menjadi rumah kedua. Benar-benar obat bagi pesakitan. Peluruh hati yang dihantui duka lara dan pelarian banyak orang ketika merasa sendiri dan ditinggalkan seseorang yang mereka cintai.
Seorang senior yang menjadi dedengkot pecinta alam yang sudah lulus kuliah, sudah bekerja di sebuah perusahaan tertentu dan nggak pernah lagi kelihatan di sekretariat, tiba-tiba nongol. Yang sibuk mbikin skripsi pun menyempatkan diri datang walau sesekali. Yang menjadi anggota tetap, sepulang kuliah cepat-cepat menuju tempat ke base camp mereka. Menjelang  malam Minggu,  sekretariat itu  penuh manusia dari siang hingga malam harinya. Tidak ada acara lain selain  nongkrong, ngobrol, diskusi ringan, bercanda, atau nyanyi-nyanyi dengan iringan gitar.  Kecuali tiba-tiba ada yang mengusulkan nonton bersama. Atau ketika ada yang mendadak mengajak pergi beramai-ramai ke gunung Panderman. Bukan pendakian resmi, karena gunung Panderman sendiri sebenarnya hanya serupa sebuah bukit. Hanya memakan waktu tiga jam dari Batu untuk sampai ke puncaknya. Ketika tidak ada acara lain yang mereka inginkan,  mereka tetap lengket di ruangan pengap itu.
Kalau memungkinkan, Prastiwi ingin bisa menginap di sekretariat. Seperti halnya beberapa anak-anak cowok yang karena malas pulang akhirnya mereka nekad tidur di sekretariat. Tapi mustahil ia melakukan hal ngawur itu. Ketika waktu merambat dua jam menuju titik tengah malam, anak-anak cowok pasti sudah mengusirnya dan ribut meneriaki cewek-cewek lain yang masih bertengger di dalam ruangan, menyuruh pulang.
Rek, kon-kon iku gak mulih, ta? Ngko nek digrebeg satpam aku gak tanggung jawab,lho! (kamu-kamu nggak pada pulang? Nanti kalau digrebeg sama satpam aku nggak tanggung jawab lho!)” dampratan lantang dengan logat asli arek Malang itupun menggema memenuhi ruangan.
Entah ada apa dengan ruangan sekretariat. Selalu membuat orang betah berada di dalamnya. Sempit, sumpek, pengap. Itulah gambarannya. Namun selalu membuat orang-orang di dalamnya selalu ingin kembali ketika telah berada di rumah mereka yang sebenarnya. ( bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar