Selasa, 10 Januari 2012

8. PERTEMUAN

“Hai.”
Fajar menyapanya dengan suaranya yang kalem itu. Prastiwi terpana menatap senyum manisnya yang terbentuk hanya dengan sedikit saja ia menarik kedua ujung bibirnya. Matanya yang agak sipit mengandung binar-binar ketidaksabaran, menunggunya  hingga tiba di sisi mejanya.
“Sini, duduklah!” ajaknya dengan ringan seraya menarik sebuah kursi yang berada di hadapannya.
“Makasih,” jawab Prastiwi sambil duduk dan meletakkan minumannya di atas meja. Ia nampak kikuk dengan posisi berhadapan-hadapan dengan laki-laki itu. Dibujuknya hatinya agar berhenti berdebar-debar tak karuan begitu. Ia pastikan bahwa Fajar adalah seorang yang nggak ada bedanya dengan cowok-cowok di sekretariat. Jadi dia tidak perlu grogi, gemetar atau serba salah.
Satu hal yang sebenarnya  membuatnya tidak nyaman adalah bahwa ternyata laki-laki di hadapannya itu punya daya tarik tersendiri ketika orang memandangnya agak lama. Dia itu tampan. Tidak perduli orang akan berpikir bahwa dia itu sudah tua, bahkan berumur jauh di atas Budi, kakak laki-laknya. Dia sungguh sebaya om om begitu. Prastiwi berusaha keras menepis bayangan salah satu temannya tiba-tiba datang ke tempat itu dan memergoki dirinya seolah tengah kencan dengan seorang om-om.. Hmmm, apa kata mereka nanti seandainya tahu pemandangan mengerikan di tempatnya kini.
“Sebenarnya aku menunggumu dari kemarin. Di sini,” kata Fajar sambil menatapnya. “Apa kamu sibuk selama beberapa hari ini?”
Dia menungguku? Untuk apa? Prastiwi membatin dengan heran.
“Bukankah dulu kamu bilang rumahmu dekat sini? Benar, kan?”
“Iya. Di belakang sana,” ia menunjuk ke sembarang arah dengan dagunya.
“Di belakang mana?” tanya  Fajar sambil mengernyitkan dahi.
“Di belakang gedung pertokoan. Ada sebuah gang kecil...”
Meski tetap nggak paham dengan jawaban yang mengambang itu Fajar tetap tersenyum maklum. “Ternyata susah sekali menemukanmu dengan jarak rumahmu yang hanya beberapa ratus meter dari alun-alun sini. Kamu jarang kemari?”
“Aku sedang ada kegiatan di kampus. Dan... lagi banyak tugas.”
 “O, begitu?”
“kebetulan aku tadi ke toko buku mencari literatur untuk tugas makalah.”
“Kamu beli buku?”
Senyumnya malu-malu tersembul. Sementara kepalanya tergeleng. “Enggak. Bukunya ternyata mahal banget. Aku nggak  jadi membelinya. Hanya numpang baca saja.”
Fajar menyeringai geli mendengar penuturan polos itu. Ditatapnya wajah polos itu perlahan. “Apa kamu mau makan sesuatu? Fried chicken? Burger atau es krim?. Tenang saja. Aku akan mentraktirmu,” kata Fajar.
Prastiwi menenggelamkan pandangannya ke dalam gelas besarnya. Dihirupnya perlahan-lahan minumannya. Ia menolak dengan halus tentu saja tawaran itu. Meskipun dari kemarin ingin sekali ia makan burger. Tapi mereka, kan baru kenal? Nanti Fajar mengira mentang-mentang dia anak kuliahan yang miskin, lalu mau begitu saja di traktir. Ia memang tadi datang ke restoran itu dan berniat untuk tidak membeli sesuatu selain minumannya. Kamputernya sedang error dan perlu diservis. Dan program membeli sleeping bag yang sudah direncanakan dua bulan lalu  harus segera dilaksakan. Karena ia tidak ingin merepotkan Arik untuk mencarikan pinjaman sleeping bag setiap kali ia pergi naik gunung. Untuk itu ia harus mengirit mulai dari sekarang.
“Bener kamu nggak mau pesan makanan apa-apa?”
“Trima kasih. Aku masih kenyang.” Ia berpikir-pikir untuk memanggil Fajar dengan sebuatan apa. Mas, Om atau Pak? Atau Fajar gitu aja? Seperti ia menyebut begitu saja nama cowok-cowok di dalam sekretariat. Kelihatannya lebih simpel dan akrab. Tapi apa sopan? Dia jauh lebih tua darinya. Apa Fajar tidak akan tersinggung dengan sebutan namanya yang tanpa embel-embel apa-apa?
“Bagaimana kabar teman-teman sekolahmu dulu itu? Aku ingat nama-nama mereka, tapi lupa wajah mereka. Ada Dewi, Hanim, Alita, benar, kan?”
”Kami sudah jarang berkomunikasi. Mungkin karena kesibukan kami masing-masing. Hanya aku dan Dewi yang masih sering nelpon, ngobrol banyak tentang kegiatan kami di kampus. Dewi sekarang kuliah di Jogja. Sedangkan Hanim pindah ke Banjarmasin dan aku dengar dia kuliah sambil bekerja di sebuah perusahaan pengiriman barang. Lalu Alita sekarang berada di Australi. Dia lebih jauh lagi. Nggak tahu kapan kami akan bertemu lagi.”
“Jadi temanmu yang bernama Dewi sekarang kuliah di Jogja? Yang mana anaknya, ya?”
“Kalau Dewi anaknya yang paling cantik di antara kami. Dia juga seksi. Semua cowok pasti suka kalau melihatnya.”
“Oya?” sahut Fajar dengan semangat. “Dia menelponku beberapa hari yang lalu.”
Prastiwi mengiyakan.“Dia juga cerita kemarin. Maaf, ya, sebenarnya aku benar-benar nggak ingat sama kamu. Bahkan sampai hari ini. Tapi Dewi mengatakan bahwa kamu bersama kami waktu itu.”
“Maksudmu sama sekali kamu nggak ingat siapa aku?” tanya Fajar kecewa.
Prastiwi menggelengkan kepalanya dengan pelan namun tegas. “Entahlah, mungkin karena waktu itu aku sedang banyak masalah. Jadi aku nggak ingat siapapun yang kutemui kecuali sahabat-sahabatku,” ucapnya lirih.
“Kamu punya masalah apa ?”
“Aku lagi patah hati waktu itu,” Sejurus ia mengucap, sejurus pula ia terkekeh. Ia merasa bodoh harus mengungkap masalah pribadinya itu dengan orang asing. Tapi ucapan itu sudah keluar. Dan nggak mungkin ia tarik kembali.
“Kamu patah hati? Prastiwi, siapa yang sudah membuat hatimu patah patah, sih?” tanyanya lembut seakan mengolok-ngoloknya.
“Sudah, aku nggak ingin membahas itu lagi,” jawabnya setengah memohon.
Fajar menyeringai geli melihat reaksi itu. Ia tidak percaya gadis lugu begitu sudah pernah meradang oleh getirnya cinta. Siapa laki-laki yang tega membuat luka di hatinya? Tanpa menunggu persetujuan ia memanggil waiters seraya melambaikan tangannya. Seorang cowok datang dan menyapa Prastiwi dengan senyumnya yang lebar. Fajar memesan minuman yang sama dengan miliknya dan milik Prastiwi, serta meminta pula dua buah beef burger.
“Kamu kenal cowok itu tadi?” tanyanya begitu pelayan itu beranjak pergi.
“Aku kenal hampir semua karyawan di sini. Dulu aku sering ke sini, apalagi waktu masih ada teman-temanku Hanim, Alita dan Dewi,” jelasnya.
“Kulihat kamu ke sini selalu sendirian. Lalu duduk melamun di pojok sana. Apa kamu nggak punya teman?”
“Kadang-kadang aku lebih senang sendiri. “
“Oya? Bukankah lebih enak kalau kita punya teman? Bisa ngobrol seperti sekarang ini.”
Prastiwi mengingat pertemuan pertama mereka dulu. Iabenar-benar merasa terganggu dengan kehadiran Fajar di dekatnya. “Aku nggak bisa beramah tamah dengan orang yang baru kukenal.”
“Kenapa? Pantas saja kamu kelihatan judes waktu ketemu dulu itu. Apa kamu pikir aku orang jahat waktu itu?”
“Yach, siapa tahu?”
Fajar terbelalak. Tapi sesaat seseorang datang membawa pesanan. Setelah meletakkan mmakanan dan minuman  ke atas meja, ia mengulurkan sebuah struk belanja dan uang kembalian. “Sudah, ambil saja kembaliannya. Trimas kasih, ya?”
“Trima kasih kembali, Pak!” ucapnya sambil berlalu.
“Silakan,” kata Fajar sambil menyodorkan minuman dan makanan ke tengah meja.
Prastiwi tersenyum menyambut makanan kesukaannya itu. Meski air liurnya sudah hampir menetes, ia tak segera menyentuhnya. Dilihatnya Fajar malah bersedekap tangan di meja persis seperti murid TK yang tekun mendengarkan guru di depan kelas.
“Prastiwi, apa kamu  punya pacar?” pertanyaan itu meluncur  dari mulutnya.
Prastiwi tercengang. Tapi kemudian menggeleng. “Nggak punya.” Ia tidak akan gengsi mengakuinya, seperti ketika Arik menanyakan pertanyaan serupa.
“Ah, cewek cantik kayak kamu nggak punya pacar?”
Prastiwi tidak serta merta melambung. Dari kecil ia sudah kenyang dengan pernyataan pujian seperti itu. Hampir setiap saat dulu ia mendengarnya, baik dari bapak atau ibunya, saudara dan kerabat, guru TK, juga tetangga. Namun kecantikan yang ia sadari dalam dirinya bukan kecantikan untuk dipamerkan begitu saja kepada orang lain atau kepada lawan jenis, melainkan kecantikan yang diimbangi dengan sikap sopan, patuh, tidak cengeng, tidak ngambek dan sifat-sifat baik lainnya. Jadi selama ia menentang orang tuanya atau tidak menuruti nasehat mereka, sedikitpun ia merasa tidak cantik.
“Kalau kamu?” Prastiwi mengembalikan pertanyaan itu kepadanya. Dan tiba-tiba ia menyadari sudah mengambil keputusan dengan menyebut ‘kamu’ pada laki-laki dewasa di hadapannya itu. Bukan sebutan wajar seperti mas Fajar, Om, atau Bapak, misalnya.
 “Aku?”  tanya Fajar.
“Apa kamu sudah punya istri?” tanyanya seterang sinar matahari sore yang menembus pelataran restoran.
Fajar nampak terkesiap. “Apa aku seperti orang yang sudah beristri?” tanyanya balik  tanpa terlihat tersinggung. Senyumnya tertahan diujung bibirnya.
“Iya. Dan seperti punya empat anak!” jawabnya serta merta tanpa ampun. Disertai tawanya yang renyah.
“Kamu benar-benar menghina, ya?” keluh Fajar.
“Sorri, aku bercanda,” ucapnya tanpa merasa berdosa sedikitpun, namun bibirnya yang tipis memerah itu masih menyisakan  senyuman dan semacam olok-olok. Ia tidak tahu laki-laki itu berkata bohong atau yang sebenarnya. Dan ia tidak akan ambil pusing untuk harus mempercayainya atau tidak.
“Aku belum  menikah. Jadi aku belum punya istri juga anak,” jelas Fajar dan mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
“Iya, iya, aku percaya, deh,”
“Kamu pasti nggak percaya,”
“Aku percaya, ” sahutnya makin masa bodoh.
Percakapan terhenti ketika keduanya mulai terlihat menyentuh makanan di atas nampan. Prastiwi mencicipi minumannya sebelum menggigit roti bulat bertumpuk dengan isi daging di dalamnya.
“Aku biasa memanggil teman-temanku, kakak kelasku, atau orang-orang yang usianya lebih tua di atasku dengan memanggil namanya saja,” kata Prastiwi di sela-sela kunyahan rotinya.
“Nggak masalah. Kamu boleh memanggilku Fajar saja. Kelihatannya lebih enakbegitu.Lebih akrab,” jawab Fajar.
Prastiwi tersenyum. “Makasih, sudah mentraktirku!” ucapnya dengan tulus.
“Aku akan mentraktirmu lagi kapan-kapan.”
“Oh, enggak. Kapan-kapan aku gantian yang akan mentraktirmu,”
“Gitu, ya? Kapan, ya, kita ketemu lagi? Boleh aku minta nomor handphone-mu? Aku akan menelponmu kalau aku sudah sampai ke sini.”
“Aku nggak punya handphone,” Prastiwi berkelit sambil mengangkat gelas untuk menutupi wajahnya.
“Nggak apa-apa. Nanti aku akan nanya Dewi berapa nomor handphone-mu,” tukasnya sama sekali nggak percaya.
“Aku pergi ke wartel setiap kali ingin menelpon Dewi. ”Prastiwi masih berusaha meyakinkannya.
“Baiklah,” Fajar mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Sebuah kartu nama. “Di sini ada nomorku yang bisa dihubungi. Tolong kabari aku kalau kamu ada di sini. Oke?”
Prastiwi mengambil kertas berkilat itu dengan enggan. Membacanya sekilas tulisan-tulisan di dalamnya sebelum memasukkan ke dalam tasnya. Ia ingin cepat pulang dan menelpon Dewi. Ia harus mengatakan hal-hal mengenai dirinya yang tidak boleh dia bocorkan  kepada Fajar.  Dan agaknya ia harus menyumpah Dewi agar benar-benar memegang pesannya.

Jumlah  ;  1.540 kata
Total      :  10.617

Tidak ada komentar:

Posting Komentar