Selasa, 03 Januari 2012

4. Arik, cinta terpendam

        “Mosok iya sih Pras kamu nggak merasa kalau Arik itu suka sama kamu?”
Celetukan Yessi yang geram dan bernada setengah menginterogasi siang tadi itu terus mengganggu pikirannya. Ia ingat reaksi Sabrina yang turut mengiyakan, bahkan menambahi, “Bener lho Pras! Dia itu cinta mati sama kamu.”
       “Ihhh, apa sih?!” Prastiwi mengibaskan tangannya dengan risi ke arah dua temannya itu.
“Alba yang cerita!” cewek indo  itu berusaha meyakinkannya. “Arik mengungkapkan perasaannya itu sambil bersumpah dihadapan anak-anak lain. Di hadapan Adi dan Rudi juga. Tanya mereka kalau kamu nggak percaya!” tambahnya
         Entahlah. Masalahnya sebenarnya ia juga sudah mulai curiga dengan sikap Arik yang aneh selama hampir sebulan ini. Sering terlihat diam-diam memandanginya. Di hadapan banyak orang. Ketika semua orang tengah ngobrol seruh sambil bercanda, atau ketika semua orang sedang asyik bernyanyi-nyanyi ramai sambil diiringi gitar. Lalu sikapnya teramat baik dan teramat penuh perhatian. Sampai ia merasa risi, ngeri, takut anak-anak lain memergoki.
Suatu ketika mereka selesai kuliah, tiba-tiba Arik mengajaknya ke tempat parkir. Ia mengatakan akan menunjukkan sesuatu. Waktu itu Prastiwi disuruh menebak-nebak sendiri sampai mereka berada di tempat parkir. Ternyata Arik ingin menunjukkan mobil Jeep yang katanya sudah menjadi hak miliknya.
“Nanti pulangnya bareng aku saja, Pras. Aku akan mengantarmu,” ajak Arik dengan penuh bangga sambil mengelus bagian depan mobil klasik itu.
Prastiwi tertegun sesaat. “Enggak, ah!” sahutnya enggan.
“Kenapa?”
“Takut.”
“Takut kenapa?” Arik menatapnya dengan heran.
“Nanti pacarmu marah.”
“Pacar? Memang siapa pacarku? Kamu, kan?” tanyanya seolah serius.
Prastiwi tertawa menanggapi. Arik ikut tertawa Ia lalu membuka kap mobil dan menceritakan tentang kehebatan bagian-bagian tertentu dari mobilnya itu
Bukan alasan yang dibuat-buat kalau Prastiwi enggan diajak pulang bareng Arik.  Cowok itu memang pernah cerita tentang mobil Jeep milik papanya yang sudah dihibahkan kepadanya untuk dipakainya ke kampus atau ke manapun dia mau pergi. Bahkan untuk sekedar jalan-jalan atau naik gunung sekalipun. Tidak bisa dibayangkan Prastiwi akan naik mobil besar dan keren seperti itu bersama Arik.  Melewati tempat parkir dan menyusuri jalanan di sekitar area kampus menuju pintu gerbang kampus sana. Apa kata orang kalau melihat mereka berdua saja di dalam mobil begitu?
Prastiwi menggeleng-geleng membayangkan komentar miring tentang dirinya. Orang akan mengira dia hanya akan memanfaatkan Arik semata. Hanya numpang popularitas Arik sebagai orang yang banyak dibicarakan di kalangan cewek-cewek di kampus, juga sebagai orang yang menjadi kebanggaan bagi anak-anak di lingkungan pecinta alam.  Menurut infomasi, Arik adalah calon tunggal ketua umum pecinta alam di kampus pada periode mendatang.
Dan saat ini status mereka adalah pacaran. Ops, tidak! Prastiwi menggeleng keras. Itu adalah kerjaan anak-anak di sekretariat yang iseng menjodoh-jodohkan mereka sedemikian rupa hingga seolah-olah mereka menjadi pasangan yang benar-benar berpacaran. Padahal bohong. Mereka nggak ada apa-apa. Hanya teman. Murni hanya teman. Prastiwi nggak pernah deg-degan atau ge-er ketika Arik bersikap mesra padanya di hadapan anak-anak di sekretariat. Itu  hanya action dia semata. Tidak ada yang serius. Bisa jadi karena Arik sengaja ingin membuat cowok seperti Abdila, cowok yang katanya diam-diam naksir Prastiwi cemburu. Dan agaknya hampir semua orang percaya kalau Prastiwi dan Arik pacaran. Termasuk si Abdila. Termasuk pula si pencetus gosip yaitu Yudhit Sabrina dan Alba. Padahal kalau lepas dari pandangan mata seisi sekretariat, keduanya akan bersikap selumrah sikap asli mereka. Mereka berpencar dengan sikap  masing-masing. Tidak ada sikap sok mesra, gandeng tangan, apalagi panggilan sayang.
 “Pacarmu orang mana, Pras?” tanya Arik kemudian. Prastiwi pernah mendengar Arik melontarkan pertanyaan serupa beberapa waktu yang lalu.
Meski gengsi mengakuinya, tapi Prastiwi tak punya jawaban lain. “Nggak punya,” jawabnya  sesantai mungkin.
“Cowok yang kost di belakang kampus, kan?” tebaknya. “Aku sering melihatmu pergi ke belakang kampus. Kupikir kamu pasti menemui pacarmu. ”
Ha? Prastiwi ternganga antara heran dan bingung. Anak belakang kampus? Siapa? Namun sesaat Prastiwi menanggapi tebakan ngawur itu dengan cibiran. Arik hanya nyengir kuda. Menatapnya dengan senyum lucu serta tidak kuasa menyembunyikan cerita bohong yang barusan diciptakannya. Merekapun tertawa.
“Aisyah.  Anak Psikologi. Aku mengenalnya dulu ketika kami barengan  daftar kuliah.  Dan sampai sekarang kami tetap akrab meskipun tempat kuliah kami agak berjauhan. Beberapa kali dia mengajakku ke rumah kontrakannya. Dia mengontrak rumah di belakang kampus bersama enam  temannya.”
“Aisyah? Sepertinya aku pernah dengar namanya?”
“Aku pernah mengajaknya ke sekretariat. Waktu itu sekretariat penuh orang. Kulihat dia langsung membaur dan bercanda dengan Bagas, Rendi, dan semua orang di sana. Waktu pulang,  dia  mengatakan bahwa dia ingin mendaftar menjadi anggota pecinta alam.” Prastiwi berhenti dan tersenyum simpul membayangkan Aisyah dengan penampilan feminim dan alim dalam kesehariannya begitu akan masuk ke lingkungan anak-anak urakan di sekretariat pecinta alam. “Kayaknya fillingku mengatakan kalau Aisyah naksir seseorang di sekretariat,” gumamnya.
“Siapa?”
“Rendi, mungkin,” jawabnya tak yakin.
“Tukang gosip!” cetus Arik.
Prastiwi tertawa. Tapi di sela tawanya, pikiannya berkelebat tentang gosip yang beredar tentang mereka. Prastiwi merasakan kepalanya berdenyut selama beberapa saat. Apa benar Arik menyukainya? Kalau benar, maka persahabatan mereka akan bubar tidak lama lagi. Bagaimana mungkin dia juga menyukai Arik? Mustahil. Dan nggak mungkin.
Begitu Arik mengungkapkan perasaannya, Prastiwi akan membeberkan pula perasaannya, bahwa dia sungguh menganggap Arik hanya sebagai sahabat. Tidak lebih dari itu. Apa Arik akan bisa menerima ucapannya? Apa ia akan merasa jatuh harga dirinya oleh pengakuannya? Kecuali seisi sekretariat tidak mengetahui kedekatan mereka. Mereka semua menganggap dia dan Arik benar-benar pacaran. Itulah permasalahan yang sesungguhnya. Tanpa sadar ia menghela nafas.
“Aku hanya ingin fokus kuliah. Tidak ingin memikirkan hal-hal lain selain kuliah.  Aku harus cepat lulus, Rik. Kasihan ibuku,” ungkapnya dengan  serius dan sungguh-sungguh.
Arik menatapnya dengan nanar. Dan tatapannya meluruh membentuk gurat ketertegunan yang jauh memanjang. “Apa ibumu melarangmu pacaran?” tanyanya.
“Ibuku? Ah, enggak,” gelengnya.
“Lalu?” ia seakan ingin mendengar lebih jelas  jawabannya.
“Ini keputusanku sendiri.”
“Jadi kamu memutuskan sendiri nggak akan pacaran sampai kamu lulus?”
Prastiwi mengerlingnya, lalu memberikan jawaban berupa anggukan. “Yah, begitulah,”
“Bagaimana kalau tiba-tiba kamu ketemu cowok dan ternyata kamu jatuh cinta padanya?”
Prastiwi tersenyum mengejek. “ Siapa? Abdila?”
Arik tertawa.
“Nggak mungkin. Aku nggak akan semudah itu jatuh cinta, Rik.”
Prastiwi mengeluh diam-diam. Kalimatnya jelas tidak mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Ia hanya mengulur waktu, hanya meredam sesaat hempasan gejolak, dan tetap membuat Arik berharap padanya.
Meski berasal dari keluarga kaya, namun Arik tetap menomorsatukan urusan kuliah. Ia selalu terlihat serius dan tidak main-main untuk urusan satu itu. Tugas dari dosen baik berupa soal-soal, makalah, atau laporan praktikum tidak pernah dia hanya menyontek atau mengharapkan namanya tercantum begitu saja dalam sebuah kelompok tanpa bersusah payah dia ikut mengerjakan. Tidak. Sesibuk apapun dia.  Meski kelihatannya santai tapi IP-nya selama ini hanya selisih nol koma nol sekian dari IP Prastiwi. Itu yang membuat Prastiwi salut padanya.
“Oke, mau ke sekretariat sekarang?” ajaknya.
Arik mengiyakan. Lalu menutup kembali kap mobil sebelum berjalan bersama Prastiwi menuju arah  gedung di belakang sana. 

            *jumlah : 1.096 kata
Total : 4.241 kata


Tidak ada komentar:

Posting Komentar