Minggu, 01 Januari 2012

1. Namanya Fajar


Prastiwi memandang di kejauhan. Di antara hingar-bingar dan berjubelnya pengunjung sebuah restoran siap saji yang berada di pusat kota Malang. Seorang lelaki nampak masuk. Lalu tak lama setelah memesan sesuatu dikasir, dia mengangkat sebuah nampan berisi minuman soda dengan tangannya yang berlengan panjang dari kemeja warna biru lembut yang dikenakannya. Matanya berkeliling mencari tempat duduk yang tersisa. Penuh sesak. Hampir ia tak menemui celah kursi yang kosong selain di depan toilet dan satu lagi di pojok dekat pintu keluar sana.
Prastiwi cepat berpaling dan kembali menekuni bukunya di atas meja. Sepintas matanya menggapai tempat duduk kosong di hadapannya. Mudah-mudahan dia nggak ke sini, gumam hatinya mulai merasa tidak nyaman. Sekitar seminggu yang lalu Prastiwi bertemu dengan laki-laki itu di toko buku. Tidak sampai satu jam kemudian tanpa sengaja mereka kembali bertemu di restoran ini. Prastiwi duduk menyendiri  di tempat favoritnya di pojok ruangan ketika tiba-tiba dia datang menghampirinya dan duduk di hadapannya. Namanya Fajar, katanya waktu dia memperkenalkan diri.  Prastiwi berusaha tidak menciptakan percakapan dengannya dan menyibukkan diri dengan catatan kuliah yang dia keluarkan dari dalam tas. Dia tidak akan beramah tamah dengan orang yang baru dlihatnya, atau orang yang baru dikenalnya. Namun laki-laki itu mengajukan pertanyaan demi pertanyaan basi yang mau tidak mau harus dijawabnya. Sekolah di mana, tinggal di mana, dan sebagainya. Di puncak kesabarannya, Prastiwipun akhirnya mengemasi buku dan memasukkannya dalam tas.  Ia  permisi pulang.
Prastiwi mulai kembali konsentrasi dengan buku diktatnya ketika sekonyong-konyong matanya menyadari kehadiran sosok yang berdiri di hadapannya. Wajahnya cepat terangkat untuk memastikan sesuatu. Bagai tersentuh besi beraliran listrik tubuhnya terhenyak. Ya Allah, ya Robi, ternyata orang itu! Desis hatinya. Sepintas pandangannya menyapu tiap sudut ruangan yang memang makin penuh oleh pengunjung. Prastiwi sempat mengutuk, kenapa orang itu harus datang ke mejanya? Tapi sesaat dia sadar siapapun berhak duduk di manapun di ruangan itu. Tangannya bergerak perlahan meminggirkan buku diktat untuk berbagi meja dengan orang itu. Lalu diraihnya minuman orange jus miliknya. Nggak mungkin dia langsung beranjak pulang. Rasanya nggak sopan. Toh, kayaknya dia orang baik-baik. Ujar hatinya berusaha menenangkan diri. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya, kayaknya dia orang kantoran. Kemeja biru muda lengan panjang dan celana biru gelap. Sebuah dasi yang disimpan semaunya di kantong celana nampak  terjulur di bagian ujungnya. Wajahnya kalem dan lumayan ganteng. Sayang, umurnya pasti sudah tua sekali. Berapa ya? Tiga puluh? Pasti lebih. Empat puluh?? Ihhhh! Prastiwi sempat bergidik. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Astaghfirullah hal adhim, bisik hatinya guna menetralkan segala macam bentuk godaan syetan, baik yang  bersembunyi di dasar hatinya, maupun yang datang dari luar dirinya. Ya Allah, jangan biarkan diriku bersikap bodoh di hadapan orang ini dan tolonglah aku jika terjadi sesuatu yang buruk yang hendak menimpaku. Doanya sekejap.
"Hai, Prastiwi ! Kita ketemu lagi?" terdengar sapa ramahnya seolah mereka sudah saling mengenal dengan akrab.
Prastiwi berusaha menatapnya sambil tersenyum tipis untuk menutupi kegugupannya.
"Boleh duduk sini, kan?"
"Silakan," Prastiwi meletakkan minumannya, lalu perlahan menutup buku. Percuma, dia tidak akan bisa konsentrasi. 
"Kok ditutup bukunya?" tegurnya.
"Oh, nggak apa-apa," jawabnya. Kalau mau jujur Prastiwi ingin mengatakan bahwa dia  ingin sendirian dan tidak mau ada orang lain atau siapapun di dekatnya, apalagi bertanya dengan hal-hal yang membuatnya gerah dan risih.
Laki-laki itu tidak menyahut. Ia menatap sesaat ke arah Prastiwi,l alu menyandarkan punggungnya sambil mengeluarkan handphone canggihnya. Sesaat  ia terlihat mengutak-ngutik tombol-tombol handphone dan mulai menelpon. Bicara beberapa menit dengan seseorang, lalu memencet-mencet tombol lagi, menelpon, lalu sibuk menulis sesuatu di layar handphone sampai beberapa lama.
Merasa aman, Prastiwi pun kembali membuka buku. Tapi dia tetap tak bisa konsentrasi. Pikirannya tertuju pada seseeorang di hadapannya itu. Prastiwi tidak ingin dan tidak berani sedikitpun mengangkat wajah. Namun pikirannya terus menerus menebak-nebak sesuatu tentang manusia asing itu. Dia tidak menggangguku kini. Lalu apa yang dilakukannya? Siapa yang di telponnya? Apa dia sudah punya istri? Sudah punya anak? Dia kerja apa? Apa dia direktur atau manager? Apa cuma karyawan biasa? Seribu satu pertanyaan sekaligus tebakan berkumpul memenuhi isi kepalanya.
Prastiwi mencubit-cubit lengannya sendiri guna menjernihkan otak dan mengumpulkan konsentrasinya. Dia mengeja huruf-huruf di lembaran buku dengan seksama. Sederet kalimat terbaca. Prastiwi mengerti. Prastiwi memahami. Lalu deret berikutnya, dan berikutnya. Prastiwipun larut di dalam kalimat-kalimat di halaman bukunya. Namun sebuah alarm yang seolah berdengung panjang di dalam lubuk tellinga, Prastiwi teringat sesuatu. Dia belum sholat asyar! Tanpa sengaja ekor matanya menangkap arloji yang melingkar di pergelangan tangan di atas meja milik orang bernama Fajar itu. Jam lima kurang seperempat.
Prastiwi menutup buku segera dan siap beranjak.
"Mau ke mana?" laki-laki itu kaget  melihat Prastiwi buru-buru merapikan buku. Dia memalingkan perhatiannya dari handphone yang digenggamnya.
"Pulang."
"Kok pulang?"
"Iya, sudah sore," jawabnya polos seadanya.
Fajar menatap arlojinya, lalu kembali ke arah Prastiwi. "Iya, memang sudah sore, ibumu pasti sudah menunggumu di rumah."
Sok tahu, cibirnya dalam hati. Namun begitu Prastiwi mengulurkan sebentuk senyuman yang polos dan manis di hadapannya. Tanpa berkata-kata Prastiwi menutup tas ranselnya dan berdiri, "Mari," pamitnya dengan sedikit membungkuk.
"Prastiwi," panggilan itu menahan langkahnya. "Apa kamu besok akan ke sini lagi?"
Prastiwi tertegun sekaligus tercengang mendengar pertanyaan itu. Entah apa maksud dari pertanyaannya itu. Prastiwi langsung menggeleng sembari mengangkat bahu. "Nggak tahu."
"Kenapa? Apa kamu sibuk?"
“Aku harus mengerjakan tugas kuliah," jawabnya tegas berusaha mengelak.
"O, begitu? Sebenarnya aku hanya ingin ngobrol."
Apa? Seru hatinya mulai kacau dan agak gusar. Ingin ngobrol? Memangnya aku cewek apaan? Pengin ngobrol kenapa nggak cari cewek di luar sana?
“Sebenarnya kita pernah bertemu sebelum ini," ucapnya sebelum kegusaran Prastiwi menjadi-jadi. "Memang sudah lama sekali waktu itu. Di sini. Ya, di tempat ini. Aku beberapa kali melihatmu bersama teman-temanmu. Kalian berempat. Ke mana teman-teman kamu sekarang?"
Prastiwi hanya mengerutkan alisnya lalu menatap penuh ke wajah laki-laki itu. Heran, kenapa dia tidak mampu mengembalikan ingatannya tentang laki-laki ini? Siapa dia sebenarnya? Dia mengenalku dan sahabat-sahabatku. Ya, Tuhan, orang baik atau orang jahatkah dia? Seru hatinya penuh bimbang.
"Entahlah, maaf, aku lupa," dan tanpa mengurangi sikap sopan, Prastiwipun benar-benar ingin segera beranjak. Sudah sore. Dia khawatir kehabisan waktu sholat asyar-nya.
"Oke, kalau begitu sampai ketemu!"
“Mari,” pamitnya. Setelah menatap wajah kalem lagi ramah itu sekitar beberapa detik, Prastiwipun melangkah pergi. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar